Pemerintah perlu selaraskan kebijakan pembangunan dan mitigasi iklim

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pemerintah perlu selaraskan kebijakan pembangunan dan mitigasi iklim
World Resources Institute (WRI) Indonesia menilai masih ada banyak hal yang perlu dibenahi terkait upaya penurunan emisi. Salah satunya dari bidang kebijakan maupun penyajian data.

JAKARTA, Indonesia – World Resources Institute (WRI) Indonesia menilai masih ada banyak hal yang perlu dibenahi terkait upaya penurunan emisi. Salah satunya dari bidang kebijakan maupun penyajian data.

Pada Senin, 6 Juni, lalu, WRI Indonesia meluncurkan Platform Baru Interaktif untuk Data Iklim (PINDAI) untuk membantu Indonesia mencapai targetnya. “Perlu ada implementasi program mitigasi yang lebih baik untuk mencapai target pada 2020,” kata Koordinator Program Iklim WRI Indonesia Andhyta F. Utami saat dihubungi Rappler pada Selasa, 7 Juni, lalu.

Menurut data yang disajikan PINDAI, Indonesia masih sangat jauh untuk mencapai tujuan tersebut.

Salah satu contohnya adalah terkait target reduksi provinsi untuk 2020. “Tak semua provinsi mempunyai target. Hanya 22,” kata dia.

Total target reduksinya adalah 627 mtCO2e, namun pada tahun 2013, baru 2,25 persen yang tercapai. Sementara pada 2014, angkanya 1,86 persen.

Kompilasi data

PINDAI mengompilasi data dari berbagai sumber, termasuk Badan Pusat Statistik, Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD GRK), SIGN SMART (Sistem Inventarisasi GRK Nasional milik Kementerialn Lingkungan Hidup dan Kehutanan); serta rancangan pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD).

Menurut Andhyta, PINDAI ditargetkan untuk dua kelompok utama, yaitu:

1. Pemerintah nasional dan daerah. “Supaya mereka lebih mengerti tentang lanskap emisi di level subnasional. Juga pemerintah daerah untuk lebih memahami bagaimana aktivitas mitigasi di provinsi lain dan memosisikan provinsi mereka sendiri,” kata dia.

2. Organisasi sosial dan masyarakat yang bergerak di bidang perubahan iklim. “Akses terhadap data dan informasi dapat meningkatkan pemahaman tentang emisi provinsi, memonitor implementasi komitmen iklim, dan kesesuaian dengan RPJMD,” kata Andhyta.

Ia juga berharap publik dapat mengakses PINDAI supaya tingkat kesadaran akan pentingnya transparansi dan open data dapat membuka mata mereka tentang gentingnya masalah iklim ini. “Publik bisa mengawasi komimtmen penurunan emisi pemerintah dan meningkatkan kualitas data,” kata dia.

Pada situs PINDAI, pengguna dapat melihat angka emisi karbon di suatu daerah. Mereka juga dapat membandingkannya dengan daerah lain.

Tak hanya itu. Ada juga peta interaktif yang menunjukkan faktor pendongkrak angka emisi di 34 provinsi di Indonesia. Ragamnya mencakup limbah, kegiatan tani dan kehutanan, maupun dari energi, transportasi, dan industri. Sejauh ini, angka terbesar disumbang oleh sektor pertanian dan kehutanan.

Masalah

Andhyta mengatakan selama ini ada perbedaan data dari setiap lembaga tentang emisi karbon. “Karena metodologi, atau penggunaan dataset aktivitas yang berbeda,” kata dia.

Hal ini menyulitkan para pegiat iklim untuk memahami lanskap emisi di Indonesia. Pemerintah juga sulit mengambil keputusan berbasis data ataupun implementasi yang baik.

Selain itu, ada juga kebijakan pemerintah daerah yang bertentangan dengan tujuan pengurangan emisi ini. Salah satunya adalah Kalimantan Barat yang justru membuat rencana pembangunan yang meningkatkan konsumsi sumber daya mineral. Sementara Jawa Timur juga hendak meningkatkan eksplorasi dan eksploitasi tambang dan mineral. Keduanya masuk dalam 10 besar provinsi dengan emisi karbon tertinggi pada 2010.

“Perlu ada upaya penyeimbangan pembangunan dengan upaya penurunan emisi, karena keduanya sangat kontradiktif,” kata Andhyta.

Ia juga menemukan adanya daerah dengan penduduk sedikit namun angka emisi per kapitanya tinggi. “Pemerintah perlu memperhatikan hal ini,” kata dia.

Salah satu contohnya adalah Papua dan Sumatera Utara. Meski berpenduduk lebih sedikit, angka emisi per kapita Papua jauh lebih tinggi. “Papua 80 juta ton CO2 per 1000 orang. Sementara Sumatera Utara 20 juta ton CO2 per 1000 orang,” kata dia. Hal ini, menurut penelusuran WRI, karena adanya limbah tambang dan industri di tanah cendrawasih itu.

Tanggapan pemerintah

Perwakilan Pemerintah dan Bank Dunia menyampaikan pentingnya keterbukaan data dalam mitigasi perubahan iklim. Foto: WRI Indonesia.

Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Emma Rachmawati mengatakan, cara kompilasi data ini sudah digunakan lembaganya. “KLHK sudah mengonsolidasi profil emisi GRK nasional yang dapat diakses di SIGN SMART,” kata dia.

Mereka juga tengah membangun Sistem Inventarisasi Data Iklim dan kerentanan (SIDIK) yang berisi aktivitas adaptasi nasional dan daerah. Sistem mitigasi dan adaptasi ini kelak akan terhubung dengan lembaga kehutanan internasional UNFCCC.

Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Program Prioritas Kantor Staf Presiden Yanuar Nugroho juga mengatakan transparansi dan akuntabilitas sebagai fondasi utama pembangunan berkelanjutan. “Tanpa akses terhadap data, publik tak dapat memantau kemajuan program pemerintah,” kata dia.

KSP juga mendorong pembuatan peta dengan skala 1:50 ribu untuk merencanakan pembangunan dengan tepat dan benar. “Kami mendorong hal tersebut dengan Satu Peta & Satu Data,” kata dia.

Analis Data World Bank Prasetya Dwicahya juga memuji inovasi data terbuka. “Open data membuat data lebih kaya, lebih mudah dipakai, dan bisa dianalisis,” kata dia. Karena itu, masyarakat bisa memanfaatkannya untuk mendorong inovasi, serta membantu mekanisme check and balance.

Sebagai informasi, Indonesia menargetkan penurunan angka emisi sebesar 29 persen pada 2030. Bahkan, angka tersebut dapat melonjak jadi 41 persen bila ada donor asing yang mau membantu upaya pemerintah. Menurut analisa Bappenas, Indonesia sudah berhasil menurunkan angka emisi karbon 15,5 persen selama 2010-2015.-Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!