‘Angka Jadi Suara’, realita kehidupan buruh yang alami pelecehan seksual

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

‘Angka Jadi Suara’, realita kehidupan buruh yang alami pelecehan seksual
Film dokumenter menggambarkan kejahatan yang ditutupi rasa malu dan takut si korban. Kini saatnya korban pelecehan seksual membuka suara

BANDUNG, Indonesia — Sesosok perempuan tampil dalam film dokumenter Angka Jadi Suara. Wajahnya dilindungi kegelapan dan suaranya disamarkan. Perempuan itu adalah korban pelecehan seksual yang dialaminya saat bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik di Kawasan Berikat Nusantara (KBN), Cakung, Jakarta Timur.

Tidak mudah bagi perempuan itu untuk menuturkan kisahnya. Meski tidak ditayangkan secara detil, namun tergambar beban psikologis yang disandangnya. Sekali waktu, dia berhenti bicara, menahan tangis.

“Rasanya menyakitkan, menyakitkan. Saya enggak tahu apa-apa, orang awam,” ungkap perempuan itu.

“Saat kejadian terjadi, saya enggak bisa berbuat apa-apa, benar-benar enggak berdaya.”

“Jadi kalau udah atasannya, paling atasnya yang melakukan, kita mau lapor ke siapa lagi?”

Angka Jadi Suara menampilkan sebuah realita kehidupan buruh perempuan yang selama ini tidak terungkap, pelecehan seksual. Kejahatan yang ditutupi rasa malu dan takut si korban. Kejahatan yang terus berlanjut, bahkan terang-terangan, dan kemudian dianggap lumrah, di balik bungkamnya si korban. Sebuah kejahatan sunyi.

“Jadi kalau udah atasannya, paling atasnya yang melakukan, kita mau lapor ke siapa lagi?” tanya si perempuan itu.

Film dokumenter berdurasi 22 menit itu berusaha mengangkat isu pelecehan seksual yang dialami buruh perempuan ke permukaan—mengirimkan pesan bahwa selain persoalan upah, kontrak kerja, dan peraturan yang bias gender, buruh perempuan mengalami kejahatan yang lebih mengerikan, yakni pelecehan seksual. 

Alur cerita dirangkai melalui perjuangan para buruh perempuan yang tergabung dalam Komite Buruh Perempuan KBN, yang ingin menghapus praktik-praktik pelecehan seksual di tempat mereka bekerja. Sebagian dari anggota Komite Buruh Perempuan juga merupakan korban pelecehan seksual yang mencoba bangkit dan berusaha menghentikan tindakan amoral itu.

Komite Buruh Perempuan bergerak dari hunian ke hunian mendiskusikan isu pelecehan seksual dengan rekan-rekan sesama buruh. Mereka juga menampung pengaduan dari para korban sekaligus melakukan riset sejak 2012 tentang isu tersebut, yang juga menjadi bahan cerita film Angka Jadi Suara.

Proses pra-produksi film yang diproduksi Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) itu memang panjang. Namun dari situlah terungkap berbagai permasalahan terkait isu pelecehan seksual. Tentang masih banyaknya orang yang tidak paham bentuk-bentuk pelecehan seksual, adanya sikap menyalahkan korban karena dianggap memancing, dan praktik-praktik pelecehan seksual itu sendiri. Semua itu diinformasikan dengan jelas melalui diskusi-diskusi hunian yang terekam dalam film dokumenter itu.

“Di area produksi tahun 2015, pelakunya Mister [boss] juga, memeluk dan mencium di tempat umum dan dilihat banyak buruh,” begitu salah satu kesaksian korban dalam sebuah diskusi hunian di film tersebut.

Film yang diproduksi pada 2016 ini juga mempertontonkan upaya Komite Buruh Perempuan melakukan audiensi dengan sejumlah pihak terkait dalam upaya menghentikan praktik pelecehan seksual. Mereka mendatangi pengelola KBN Cakung, Kementerian Tenaga Kerja, hingga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise yang muncul dalam sebuah adegan.  

Tujuan mereka adalah membuat plang “Kawasan Bebas Pelecehan Seksual” di wilayah KBN Cakung dan membuat posko pengaduan.Di akhir cerita, tujuan itu tercapai dalam sebuah adegan peresmian plang “Kawasan Bebas Pelecehan Seksual” di wilayah KBN Cakung.  

Ketua Komite Buruh Perempuan KBN, Jumisih, yang tampil membacakan sambutan, menyatakan upaya itu menjadi semangat bagi buruh perempuan untuk bangkit menghentikan pelecehan seksual di tempat kerja, seperti yang tersirat dalam puisi “Angka Jadi Suara” yang dibacakan Solikhatun, seorang buruh perempuan, yang menjadi salah satu adegan dalam film tersebut. 

Korban pelecehan bukanlah angka untuk terus dihitung, dijumlah

untuk didata dan dianalisa

Sebab angka telah jadi suara

Korban siap jadi pejuang 

Film karya buruh

Angka Jadi Suara diproduksi FBLP pada 2016 dan mulai ditayangkan di beberapa komunitas pada awal 2017.  Film ini telah diputar sebanyak 5 kali dan menyambangi beberapa kota, seperti Jakarta, Bali, dan Bandung.   Peluncuran film yang disutradarai Dian Septi  Trisnanti ini dilakukan pada 15 Mei 2017 di Jakarta.

Produksi film ini seluruhnya melibatkan buruh yang tergabung dalam FBLP. Kru yang terlibat mengawalinya dengan mengikuti workshop produksi film yang dilakukan sejak 2012.  

Poster promo dokumenter 'Angka Jadi Suara'

Selama setahun, mereka dididik mengenai proses pembuatan film, di sela-sela aktivitas mereka bekerja.  Prosesnya tidak selancar yang dikira. Banyak dari yang terlibat akhirnya mengundurkan diri dengan berbagai alasan, seperti di-PHK, harus mengurus anak, dan lain-lain.

Sejumlah kendala juga dihadapi, seperti masalah dana, minimnya peralatan, dan tidak adanya korban yang mau memberikan kesaksian. Kendala tersebut menjadi alasan kenapa film Angka Jadi Suara baru diproduksi empat tahun kemudian. 

Kesulitan terbesar adalah tidak adanya korban yang bersedia dijadikan tokoh utama dalam film tersebut.  Banyak korban yang tidak mau pengalaman buruknya itu diangkat ke layar lebar.

“Jadi memang, kalau dari segi proses yang cukup panjang itu, memang ada salah satu teknis yang terkendala, selain teman-teman menunggu ada yang berani bicara,” ujar Ari Widiastari, penata kamera, saat pemutaran film Angka Jadi Suara di Taman Budaya Jawa Barat, Jalan Bukit Dago Selatan Kota Bandung, pada Jumat, 12 Mei 2017.

Ari melanjiutkan, kru berusaha melakukan pendekatan personal dan mendampingi para korban pelecehan dengan sabar hingga mereka mau bicara.  Namun setelah ada yang mau bicara pun, proses pengambilan gambar berjalan lambat.

“Tidak mudah untuk mengambil beberapa tokoh-tokoh yang mau bicara, sangat sulit. Beberapa kali kita cut.  Sampai tadi ada yang berani pun, sempat dua jam kita break karena dia sempat menangis,” tutur Ari.

Tapi dengan segala kendala yang ada, Ari merasa puas ketika akhirnya film ini ditayangkan dan mendapat sambutan yang menggembirakan dari sejumlah pihak. Banyak yang menawarkan kerjasama memutarkan film tersebut. Namun FBLP mensyaratkan pemutaran film Angka Jadi Suara harus diikuti dengan dialog agar penonton bisa memahami isu pelecehan seksual secara utuh.

Ari sendiri mengaku bangga dengan hasil karya perdananya itu. Ia tidak menyangka, dirinya yang seorang buruh bisa terlibat dalam sebuah produksi film.

“Ini sudah beberapa kali pemutaran. Setiap pemutaran, enggak percaya bahwa itu adalah karya seorang buruh, yang secara pendidikan, saya juga tidak punya pendidikan mahasiswa gitu,” katanya.

“Saya lulusan SMA di kampung dan tidak membayangkan sebelumnya bisa memegang kamera dan hal-hal yang berhubungan dengan film.” 

Menurut Ari, medium film dipilih menjadi media untuk menyosialisasikan isu pelecehan seksual karena dianggap efektif dibanding media sosialisasi lainnya. Ia berharap, Angka Jadi Suara bisa menyuarakan isu pelecehan seksual hingga jauh keluar wilayah KBN.

“Aku pikir film ini cara yang efektif untuk teman-teman di luar sana, selain teman-teman di kawasan ini, untuk tahu bahwa di luar dari persoalan normatif, perempuan punya persoalan lain,” ujar Ketua Bidang Multimedia FBLP ini.

“Banyak pihak yang harus tahu, banyak pihak yang harus mendukung korban untuk mereka kuat dan untuk berani bicara.” —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!