Ketika ibu-ibu tak sadar menyemai bibit korupsi pada anak mereka

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketika ibu-ibu tak sadar menyemai bibit korupsi pada anak mereka
Ternyata menyontek itu juga bibit korupsi, dan sejumlah perilaku orangtua lain yang tak sadar ajarkan korupsi pada anaknya

BANDUNG, Indonesia — Seolah ditampar, Yiyin Hadiani tersadar. Rasa sayang mendalam kepada anak semata wayangnya ternyata ibarat menyemai bibit korupsi. 

Yiyin mengatakan, dirinya siap melakukan apapun demi sang buah hati, termasuk mencarikan jawaban soal pelajaran yang susah dijawab. Hal itu biasa juga dilakukan oleh para ibu teman sekolah anaknya.

“Jadi kita tuh punya grup di BB (BlackBerry) dan WA (WhatsApp). Kalau ada PR terus anak enggak bisa jawab, biasanya kita nanya di grup. Nah, ibu yang tahu jawabannya akan share di grup. Saya kasih jawabannya ke anak. Jadi yang nyontek bukan anaknya, tapi ibunya,” kata Yiyin kepada Rappler sambil tertawa.

Yiyin lalu menyadari perbuatannya itu secara tidak langsung mengajarkan anak untuk berbuat tidak jujur. Anak juga menjadi tidak mandiri, tidak bekerja keras, dan tidak bertanggung jawab. Lebih parah lagi, perbuatannya itu ibarat menanam bibit-bibit korupsi pada diri anaknya.

“Ternyata menyontek itu juga sebenarnya bibit dari korupsi. Tanpa disadari pernah kita lakukan. Tapi seperti sudah menjadi kebiasaan, jadi kita tidak sadar kalau itu salah.”

Kesadaran itu muncul setelah Yiyin mengikuti seminar “Parenting Anti-Korupsi” yang diselenggarakan oleh 123Education4kids di SD Negeri Sabang, Jalan Sabang Bandung, awal Desember 2015.

Kegiatan tersebut merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Anti-Korupsi Internasional yang digagas Konsorsium Komunitas Festival Anti-Korupsi 2015 dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam Parenting Anti-Korupsi, sekitar 40 orangtua yang hadir diberikan materi tentang pola asuh yang benar serta 9+1 nilai integritas, yakni jujur, peduli, mandiri, tanggung jawab, kerja sama, sederhana, berani, adil, dan sabar. Nilai-nilai itulah yang diyakini bisa menghindarkan diri dari praktik korupsi.

Para orangtua yang seluruhnya ibu-ibu itu tampak antusias mengikuti seluruh kegiatan pelatihan yang difasilitasi Iip Fariha. Iip menyampaikan materi melalui permainan, diskusi, dan video sehingga pelatihan  berjudul “Menyemai Bibit Integritas” itu berlangsung menarik.

Iip mengatakan tujuan dari pelatihan ini adalah orangtua menyadari pola pengasuhan pada anak akan berpengaruh pada perkembangan anak, terutama dalam pembentukan moral anak. 

“Yang penting ada insight (pengertian) persoalan korupsi yang besar itu terkait di unit terkecil di rumah, dari hal-hal sederhana di rumah, seperti meminjam barang atau meminta izin memakai barang,” jelas Iip yang juga seorang psikolog ini. 

Menurut perempuan berkacamata itu, tindakan korupsi yang dilakukan oleh seseorang itu adalah ujung dari pola pengasuhan yang didapatnya sedari kecil. Bisa jadi, ada sesuatu yang salah dalam pengasuhan yang diberikan orangtuanya. Karena itu, para orang tua peserta Parenting Anti-Korupsi diberi materi tentang pola asuh yang benar.

PETISI. Enam puluh murid SD Global Mandiri Jakarta saat menyerahkan petisi anti korupsi pada anggota DPR di Senayan, 9 Desember 2014. Foto oleh Muna Su'ud/Rappler

Iip membeberkan, ada empat pola asuh yang dikembangkan pertama kali oleh Diana Baumrind pada 1967, yakni pola asuh autoritatif, otoriter, permisif, dan penelantar. Berikut penjelasannya; 

Pola asuh autoritatif

Orang tua yang menerapkan pola asuh ini adalah orang tua yang hangat, rasional, memprioritaskan kepentngan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. 

Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Pola asuh ini akan menghasilkan karakteristik anak anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan koperatif terhadap orang-orang lain. 

Pola pengasuhan seperti ini yang bisa menghindari prilaku koruptif.

Pola asuh otoriter 

Tipe ini kebalikan dari autoritatif. Orang tua yang otoriter cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya diikuti  dengan ancaman-ancaman. Orang tua yang menerapkan pola asuh ini cenderung memaksa, memerintah, dan menghukum jika anak tidak mau melakukan apa yang dikatakannya. Dalam berkomunikasi juga biasanya bersifat satu arah. 

Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri, pemalu, dan tidak percaya diri untuk mencoba hal yang baru. 

Pola asuh permisif 

Pola asuh ini sangat memanjakan anak dan memberikan pengawasan yang sangat longgar. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. 

Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak. Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsive, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial. 

Pola asuh penelantar

Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Biasanya dilakukan oleh orang tua yang sibuk bekerja. Ibu yang depresi biasanya juga termasuk tipe ini. Mereka tidak bisa memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya. 

Pola asuh penelantar akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang moody, impulsif, agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, harga diri yang rendah, sering bolos, dan bermasalah dengan teman. 

Sejumlah mahasiswa menggelar aksi menolak revisi UU KPK di Jakarta, 6 Desember 2015. Foto oleh Akbar Nugroho Gumay/Antara

Materi tentang pola asuh ini juga diberikan kepada 30 guru sekolah dasar yang mengikuri Parenting Anti-Korupsi untuk guru. Seorang peserta, Nita Suherneti mengatakan materi pelatihan menjadi pelengkap para guru untuk memberikan pendidikan anti-korupsi kepada murid-muridnya. 

Sembilan nilai integritas sebetulnya sudah termasuk dalam pendidikan budi pekerti luhur yang masuk dalam kurikulum sejak 1994. 

“Materinya bagus karena kita kan berkecimpung dengan anak-anak, jadi bisa diterapkan di sekolah sembilan nilai integritas itu. Benang merahnya sangat kuat dengan pendidikan budi pekerti luhur yang mulai diberikan sejak tahun ’94,” kata Nita.

Menurut Nita, kegiatan seperti ini mustinya digelar setiap tahun menjelang peringatan Hari Anti-Korupsi, apalagi ada kegiatan yang melibatkan anak-anak.

“Harapan saya bukan hanya di beberapa titik saja. Wali kota juga perlu melahirkan perwal (peraturan wali kota) sehingga sekolah punya kekuatan untuk pembentukan karakter. Tahun depan bisa dilaksanakan lagi kegiatan seperti ini, jadi gebyarnya tidak hanya tahun ini,” ungkap Nita. 

Koordinator Program Konsorsium Komunitas Festival Anti-Korupsi 2015, Permata Andhika Rahardja mengatakan keterlibatan orangtua, guru, dan anak menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam mengkampanyekan 9+1 nilai integritas. 

Ngomongin masalah nilai integritas paling penting dalam keluarga bukan hanya anak dan orangtua tapi juga lingkungan terdekat, yaitu sekolah dan guru, jadi holistik. Jadi nilai-nilai itu bisa dikerjakan bersama-sama,” kata Permata. 

Keterlibatan tiga pihak itulah yang diharapkan bisa menyemai bibit integritas dan bukan bibit korupsi. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!