Memberitakan orang utan lewat karya seni

Sirajudin Hasbi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Memberitakan orang utan lewat karya seni
Menggugah masyarakat untuk sadar tentang berbagai masalah yang mengancam habitat orang utan, tak cukup dengan berita. Center of Orang Utan Protection (COP) dan komunitas Gigi Nyala mencoba menghadirkan protes itu dalam bentuk karya seni.

YOGYAKARTA, Indonesia – Ada seorang perempuan muda dan dua orang utan. Si perempuan bertopi itu menanyakan satu hal yang kemudian dijawab dengan penuh kesedihan oleh kedua orang utan tersebut “Di mana Rumahmu?” Itulah gambaran sederhana dari lukisan Asrijanto Nur Abadi.

Walaupun sudah dilindungi dengan undang-undang sejak 1931, tapi keberadaan orang utan terus terancam oleh kepentingan pertambangan dan perkebunan sawit.

Dalam salah satu gambar yang ditampilkan oleh Center for Orang Utan Protection (COP), disebutkan bahwa setiap tahun, orang utan dan satwa lainnya kehilangan 864 ribu hektare, karena 20 persen dialihfungsikan untuk pertambangan, dan sisanya bagi perluasan perkebunan sawit yang dinilai memiliki nilai ekonomi tinggi. 

COP bekerjasama dengan komunitas Gigi Nyala menyelenggarakan pameran bertajuk Life of Umbrella Species. Acara ini mengambil tempat di Jogja National Museum dan berlangsung pada 31 Januari hingga 3 Februari 2015 lalu.

“Proses dari awal itu sekitar 4 bulan. Kami butuh untuk mendiskusikan berbagai hal agar kampanye ini bisa tersampaikan dengan baik pesannya. Kalau untuk open call kepada seniman sekitar satu setengah bulan. Kami buka open call ke seluruh Indonesia hingga akhirnya ada 94 seniman yang ikut serta, ada satu seniman yang mengirim dua karya tapi ada juga dua seniman yang berkolaborasi dalam satu karya,” tutur Ervance Dwi Putra, salah satu pendiri komunitas Gigi Nyala ketika ditemui pada Selasa, (3/2), di lokasi pameran.

Pameran ini diselenggarakan untuk menggugah kesadaran dan kepedulian terhadap oran gutan dari masyarakat seni maupun masyarakat umum. “Pesan yang lebih lanjut, kami ingin support kampanye COP untuk aksi mereka guna merehabilitasi orang utan dan menyelamatkan orang utan dari industri serta pihak yang tidak bertanggungjawab. Kami ingin menyebarkan isu tersebut seluas-luasnya ke masyarakat seni maupun masyarakat umum,” jelas Ervance Dwi Putra mengenai harapan dari terselenggaranya pameran ini.

“Seni merupakan media cair yang menyampaikan pesan”

Salah satu karya seni orang utan yang dipamerkan oleh Komunitas peduli orang utan di Yogyakarta, 3 Februari 2015. Foto oleh Sirajudin Hasbi/Rappler

Ada 3 permasalahan pokok yang dialami orang utan, yakni sirkus atau pertunjukan orang utan, pembantaian maupun penjualan orang utan secara ilegal. Ketiga permasalahan tersebut tersampaikan dengan baik melalui karya seni yang berupa lukisan, gambar, patung, maupun instalasi seni tersebut. 

Pengunjung ditunjukkan bagaimana orang utan memiliki permasalahan yang kompleks melalui media seni yang dipamerkan dalam tiga ruang pamer dan satu lorong yang menghubungkan antar ruangan tersebut. Seni merupakan media yang cair untuk menyampaikan pesan, jadi sangat pas untuk mengkampanyekan kesadaran terhadap orang utan.

Pameran yang merupakan bagian dari aksi Art for Orang utan ini menjadi rangkaian aksi dari COP setelah sebelumnya menggelar serangkaian kegiatan Song for Orang utan. Yogyakarta menjadi kota pertama yang menyelenggarakan kegiatan Art for Orang utan, ke depannya diharapkan bisa merambah ke kota lain agar semakin luas jangkauan kampanye ini.

Salah satu isu yang menarik pengunjung adalah mengenai eksploitasi orang utan bagi sirkus. Untuk pertambangan dan perkebunan sawit rasanya kita sudah langsung bisa melihat hal nyata bahwa mereka kehilangan habitat dan tidak sedikit yang sengaja “dibantai” agar tak mengganggu kepentingan ekonomi.

Menggugah kesadaran

Sementara mayoritas masyarakat kita belum sadar bahwa sirkus atau pertunjukkan yang melibatkan orang utan merupakan bagian dari eksploitasi terhadap hewan yang dinilai memiliki kedekatan bentuk dengan manusia ini.

“Aku dulu pernah foto dengan binatang, aku dulu pernah nonton sirkus, aku juga dulu nonton topeng monyet. Tapi, setelah tahu bahwa itu ternyata eksploitasi yang besar, aku menyadari bahwa itu tidak baik untuk dilakukan. Mulai dari pelatihan yang menyiksa, perlakuan yang ala kadarnya, dan tempat tinggal yang tidak layak. Kita sebaiknya mengembalikan kodrat mereka sebagai satwa liar,” jelas Ervance Dwi Putra, yang masih berstatus sebagai mahasiswa di Modern School of Design ini.

Tentu pihak penyelanggara ini ingin bahwa pesan yang disampaikan tidak berhenti pada membangkitkan kesadaran pada khalayak, tapi suara mereka bisa didengar oleh pihak pemerintah agar mereka bisa bertindak lebih tegas untuk melindungi orang utan. Tidak sekadar percaya pada perusahaan yang punya slogan “Membangun, Menjaga, Melestarikan adalah Komitmen Kami” tapi sejatinya mereka eksploitatif.

Sementara bagi kita, yang tak punya kewenangan legislasi atau membuat kebijakan, kita bisa turut serta ambil bagian untuk melindungi Orang utan. Seperti yang dijelaskan oleh COP “Salah satu usaha dalam melestarikan Orang utan adalah dengan merawat habitatnya yang kini telah banyak kerusakannya. Selain itu perlakukan pada hewan ini juga perlu diperhatikan dengan cara menganggapnya bukan mainan dan tidak untuk diperdagangkan”. -Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!