Mengintip perayaan Imlek di China Town Banda Aceh

Nurdin Hasan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengintip perayaan Imlek di China Town Banda Aceh
Di tengah kontroversi penerapan syariat Islam di Aceh, sekelompok warga di Peunayong mengajak warga muslim untuk menikmati atraksi Barongsai di hari perayaan Imlek.

BANDA ACEH, Indonesia – Hentakan suara tambur, gong, dan simbal yang dimainkan sejumlah remaja memecah keheningan pagi. Kesibukan warga sedang bertransaksi di sebuah gang di Peunayong, Banda Aceh, pecah konsentrasi.

Puluhan pedagang sayur yang sedang sibuk melayani pembeli berdiri, mengarahkan pandangan ke sumber gaduhnya suara. Para pembeli juga melihat ke ujung gang. 

Empat barongsai kuning, pink, biru, dan putih meliuk-liuk. Mereka bergerak ke kiri dan kanan mengikuti irama musik. Di antara mereka, terdapat dua remaja memakai jilbab. Mereka bukan warga etnis Tionghoa, melainkan remaja Aceh beragama Islam.

Ratusan warga yang sedang berbelanja keperluan rumah segera minggir dari jalanan gang sempit. Mereka berdiri di trotoar toko, menyaksikan atraksi barongsai – yang khusus digelar untuk memeriahkan perayaan tahun baru Imlek 2566 di Banda Aceh, ibukota Provinsi Aceh, satu-satunya daerah di Indonesia yang melaksanakan syariat Islam secara parsial sejak 2001.

Puluhan warga seolah tak mau kehilangan momen permainan langka di Banda Aceh itu. Mereka merogoh smartphone dan mengabadikan atraksi barongsai. Banyak yang memotret dan tak sedikit pula merekam sehingga menambah semangat para remaja yang memainkan barongsai, tarian tradisional China.

“Saya tak tahu kalau pagi ini ada barongsai. Saya ke sini bersama istri yang hendak belanja kebutuhan dapur. Rasanya senang karena bisa melihat budaya etnis China,” kata Muhammad Amin, 45, seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Banda Aceh, sambil merekam aktraksi barongsai dengan smartphone andriodnya, Kamis, 19 Februari 2015.

Berbeda dengan Amin, seorang ibu rumah tangga di Banda Aceh Eliana, 43, mengaku sengaja datang ke gang itu, untuk menyaksikan barongsai.

Ia turut membawa empat anaknya, termasuk bayi dalam gendongan. Sehari sebelumnya, ia telah mendengar kabar akan adanya atraksi barongsai di Peunayong.

“Ini pertujukan sangat langka di Banda Aceh. Paling ada setahun sekali. Apalagi anak-anak saya belum pernah melihat  barongsai dari dekat,” ujarnya. 

Setelah 15 menit melakukan atraksi, para pemain keluar dari gang itu. Warga terlihat cukup antusias. Beberapa kali terdengar tepuk tangan ketika para pemain barongsai meliuk tinggi.

Decak kagum tiada henti terlihat dari warga memenuhi gang sempit, yang pada jalan masuknya tergantung kalimat, “Peunayong, Gampong Keberagaman Kota Banda Aceh.” 

Pusat kebudayaan China di Aceh

Peunayong dikenal sebagai China town-nya Banda Aceh karena banyak warga etnis Tionghoa menetap dan menjalankan bisnisnya di pusat ibukota Provinsi Aceh.

Di kawasan itu, hampir seratusan lampion merah dipasang di langit-langit gang itu. Ditambah atraksi kelompok Dragon Golden Barongsai binaan Yayasan Hakka Aceh bergerak ke jalan-jalan utama Peunayong, yang direncanakan  berlangsung hingga jelang petang.

Mereka juga memasuki beberapa toko yang menyiapkan makanan di depannya guna memberikan “keberkatan usaha” kepada pemiliknya dari warga etnis Tionghoa.

Perayaan Imlek 2566 yang merupakan tahun baru kambing kayu berlangsung meriah di negeri syariat. Warga etnis Tionghoa yang telah turun-temurun menetap di ujung utara Pulau Sumatera sejak abad ke-15 silam menggelar aneka acara mulai ibadah di vihara hingga atraksi barongsai, sebagai wujud indahnya keberagaman dan toleransi beragama di Aceh.

Sejak pagi, ribuan warga etnis China mendatangi empat vihara di Banda Aceh untuk bersembahyang. Di pagar Vihara Dharma Bhakti, puluhan warga Aceh – terutama anak-anak – melihat ritual warga Tionghoa, karena biasanya ada pembagian angpau.

Beberapa sudut jalan Peunayong, terlihat spanduk dan papan bunga ucapan selamat Imlek. Spanduk juga berasal dari warga Muslim.

“Tahun ini lebih meriah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” kata Gho Cin San. Pria 55 tahun itu berharap di Tahun Kambing Kayu ini kehidupan lebih baik, terutama dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perdamaian di Aceh terus terjaga.

Suasana meriah ini sangat berbeda jauh ketika pergantian tahun baru 2015 Masehi karena Pemerintah Kota Banda Aceh melarang perayaan malam tahun baru.

Saat itu, anggota Wilayatul Hisbah atau polisi syariah menggelar razia besar-besaran untuk melarang warga Banda Aceh merayakan malam pergantian tahun baru. 

Inikah toleransi di Aceh?

Ketua Vihara Dharma Bhakti, Herman alias Akau, menuturkan warga etnis China yang sebagian besar beragama Budha sering bersilaturahmi ke rumah warga Muslim saat Idul Fitri dan Idul Adha. Begitu juga teman-temannya yang beragama Islam datang ke rumahnya saat Imlek, kata dia.

Hal senada juga dikatakan Kho Khie Siong, Ketua Yayasan Hakka Aceh. Menurutnya, sekitar 5.000 warga etnis Tionghoi di Banda Aceh dapat hidup damai dengan warga Aceh, yang mayoritas Muslim.

Ia berharap toleransi dan keberagaman terus dipupuk. Apalagi anggota Hakka juga berbeda agama yaitu Budha, Katolik, Kristen dan Islam.

“Toleransi tidak ada masalah di Aceh meskipun dalam beberapa tahun belakang ada sedikit benturan. Tapi, itu bukan persoalan besar karena orang Aceh sangat toleran,” katanya.

Yayasan Hakka juga membuka kesempatan kepada anak-anak Aceh yang mau belajar barongsai dan ada beberapa yang sedang dilatih.

“Saat ini ada dua remaja putri Aceh ikut grup barongsai binaan Hakka sebagai penabuh simbal. Mereka selalu memakai jilbab saat bermain,” kata pria yang akrab disapa Aki.

Dua remaja putri Aceh yang beragama Islam, Rati Puspasari dan Maisarah Fatmawati terlihat cukup bersemangat memainkan alat musik simbal saat berlangsung atraksi barongsai di Peunayong, Banda Aceh, Kamis, 19 Februari 2015. Foto oleh Nurdin Hasan/Rappler

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Nahdhatul Ulama Aceh Faisal Ali menyatakan bahwa toleransi Muslim Aceh terhadap kaum minoritas sangat dijunjung tinggi. Warga non-Muslim bebas beribadah sesuai agama dan keyakinannya. Tidak ada gangguan bagi pengikut agama lain karena syariat Islam di Aceh hanya berlaku untuk umat Muslim, katanya.

“Kalau ada yang bilang tidak ada toleransi beragama di Aceh, silahkan datang ke sini dan lihat sendiri bagaimana kerukunan antar umat beragama terjalin cukup baik. Tak pernah terjadi konflik agama di Aceh sejak dulu,” katanya. (BACA: Dosen Aceh yang ajak mahasiswa ke gereja untuk belajar toleransi beragama terancam dinonaktifkan)

Berawal dari suka

Di antara para pemain barongsai, terlihat dua gadis remaja yang mendapat perhatian dari warga, karena mereka memakai jilbab. Kedua gadis berusia 17 tahun adalah Rati Puspasari dan Maisarah Fatmawati. Meski peluh memasahi wajah mereka, keduanya tetap semangat menabuh simbal, mengiringi hentakan suara gong dan tambur untuk mengiringi liukan dan tarian barongsai.

Rati dan Maisarah mengaku bergabung dengan Dragon Golden Barongsai sejak 2013 lalu. Awalnya, mereka mengaku suka dengan tarian barongsai sehingga memutuskan untuk bergabung dengan kelompok barongsai binaan Yayasan Hakka Aceh itu. Kedua gadis itu tak terlihat canggung memainkan simbal bersama remaja etnis Tionghoa.

“Awalnya hobi dengan barongsai sehingga mendaftar. Orangtua juga membolehkan saya ikut bergabung. Saya senang dapat ikut memainkan alat musik barongsai karena seru dan asyik,” jelas Maisarah.

Rati mengaku keluarganya tak keberatan ia bergabung dengan kelompok barongsai karena keikutsertaannya hanya sebatas untuk belajar budaya China. “Mama bilang asalkan jangan ikut ajaran mereka, karena kita adalah seorang muslim,” ujarnya.

Aky dari Yayasan Hakka Aceh menjelaskan masih ada anggapan sebagian masyarakat bahwa barongsai dikaitkan dengan ritual ibadah. Padahal itu hanya seni budaya dari China. “Kita ingin mengubah pandangan orang bahwa barongsai bukan ritual ibadah, melainkan kesenian China sehingga kita membuka kesempatan kepada siapapun ikut serta dalam barongsai,” tuturnya.

Setelah ada izin dari orangtua, kedua gadis itu diperolehkan bergabung dengan tim Dragon Golden Barongsai. “Ini merupakan komitmen kami untuk terus membangun keberagaman dan toleransi. Sebelumnya ada beberapa kali digelar kolaborasi tarian Aceh dengan barongsai. Ini sangat luar biasa,” ujar Aky. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!