US basketball

Sebuah asa di Pesantren Waria Yogyakarta

Prima Sulistya Wardhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sebuah asa di Pesantren Waria Yogyakarta
Di Pesantren Al Fatah di Yogyakarta, para waria berkumpul untuk belajar Islam. Semangatnya: transgender juga berhak beribadah.

YOGYAKARTA, Indonesia — Beberapa waria duduk di beranda sambil sibuk mengisi lembar-lembar kuisioner. Tiba-tiba seseorang bertanya, “Jenis kelamin diisi apa?”

“Ya, warialah,” jawab temannya.

“Bukan. Jenis kelamin itu ya cuma dua, laki-laki atau perempuan. Kalau waria itu gender. Ditulis laki-laki aja, tapi dalam kurung waria,” kata seseorang lagi. Di belakang, seorang waria lainnya justru mengisi kolom itu dengan “perempuan”.

Suasana itu berlangsung di pondok pesantren khusus waria Al Fatah. Meski hari itu tidak ada jadwal pengajian, para santrinya berkumpul karena diundang oleh Shinta Ratri, pemimpin pesantren. Pasalnya, ada seorang mahasiswa ITB yang hendak membagikan kuisioner guna penelitian skripsi.

Pesantren Al Fatah berada di bilangan Kotagede, Yogyakarta. Tempat itu sebenarnya adalah rumah Shinta. Walau “berlabel” pesantren, aktivitas di dalamnya lebih menyerupai perkumpulan pengajian dengan anggota tetap. Tidak ada bangunan khusus atau santri yang mondok. Pengajian digelar tiap hari Minggu sore yang diisi oleh sejumlah ustad.

Di sini, para waria muslim belajar mulai mengaji dan cara shalat, hingga berdiskusi mengenai persoalan fikih sehari-hari. Anggotanya sekira 35 orang yang sebagian besar berusia separuh baya. Yang paling muda berusia 35 tahun.

Usia menjadi pendorong mereka menjadi santri di sini. “Karena sudah tua, sudah mulai mikir kematian,” kata Shinta.

Menurut Zakaria, salah satu ustad yang rutin datang kemari untuk mengajar, para peserta sudah terhitung tua, tapi semangat belajarnya masih tinggi. Hanya saja, mereka lebih mudah lupa dan kerap bercanda ketika mengaji. “Misal belajar huruf ‘ba’. Hari ini sudah hapal, tapi pas ketemu lagi sudah lupa,” tuturnya. 

“Kami ini waria, tidak bisa diubah” 

Pesantren Al Fatah bermula dari peristiwa gempa Yogyakarta di tahun 2006. Selepas gempa, Mariani dan sejumlah waria di Yogyakarta menggagas acara doa bersama yang kemudian dihadiri ratusan waria dari kota-kota lainnya.

Doa bersama itu kemudian berlanjut menjadi pengajian rutin tiap 35 hari sekali (selapanan). Dalam pengajian-pengajian tersebut, mereka didampingi oleh Hamrolie Harun, ustad yang pengajiannya telah Mariani ikuti selama belasan tahun. Mereka juga didukung oleh Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara.

Suatu hari, Hamrolie mengajukan usul agar pengajian itu dijadikan pesantren saja. Maka jadilah Pesantren Al Fatah di tahun 2008. Mariani yang menjadi pemimpinnya.

Suasana belajar mengaji di Pesantren Waria, Yogyakarta. Foto oleh Prima Sulistya/Rappler

“Al Fatah berarti pembuka jalan. Ustad Hamrolie yang memilih, katanya biar menjadi pembuka jalan bagi waria,” kisah Shinta. Mereka kemudian rutin mengaji tiap malam Senin dan malam Kamis. Tempatnya di rumah Mariani di bilangan Notoyudan, dekat Malioboro. 

Pada 2010, Pesantren Al Fatah dan Ustad Hamrolie berpisah jalan.

“Ustad Hamrolie bilang ke koran Minggu Pagi kalau santri pondok ini ingin kembali menjadi laki-laki sejati. Kami langsung ke sana (redaksi), bertanya, ‘ini siapa yang menulis?” cerita Shinta. Menurut mereka, Hamrolie punya misi yang berbeda dengan mereka.

“Kami ini tetap waria, tidak bisa diubah dengan cara apa pun.”

Pada Maret 2014, Mariani meninggal dunia. Selepas itu, pesantren diurus oleh Shinta. Sebelumnya, ia adalah ketua Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) 2010–2014.

Diejek ketika ibadah di tempat umum

Kata Shinta, di pesantren ini terdapat tiga agenda. Pertama, menjadi tempat para waria belajar agama. Kedua, sebagai bukti kepada masyarakat bahwa waria juga perlu beribadah. Ketiga, sebagai upaya advokasi diri ke pemerintah mengenai hak waria untuk beribadah.

“Kalau waria belajar di musala atau masjid umum, masih membuat masyarakat atau waria itu sendiri sungkan,” kata Shinta.

Sulitnya waria beribadah di tempat umum juga diakui Zakaria. “Mereka tahu agama, tapi tidak diakui negara. Kalau beribadah di tempat umum malah jadi ejekan.” 

Hampir semua santri di sini adalah muslim sejak kecil. Namun, mengapa yang diajarkan adalah hal-hal dasar seperti membaca iqra dan Al-Quran serta cara salat?

“Mereka Islam sejak kecil, tapi karena lama menggembel sebagai waria, banyak yang lupa. Makanya belajar ulang lagi,” kata Zakaria. Ia lalu menunjuk ke salah satu waria yang berjilbab. “Yang itu aslinya anak kiai besar. Itu kalau di rumah pasti sudah jadi orang besar.”

Yuni Shara atau YS—tentu saja ini nama “baru”—mengakui itu. Banyak waria yang lari dari keluarga karena tidak diterima, lalu hidup berpindah-pindah. Lari dari rumah ini pula yang menyebabkan mereka kesulitan memiliki KTP.

“Kan, surat-suratnya (untuk mengurus KTP) semua di rumah. Padahal sudah tidak bisa pulang lagi,” kata mereka.

YS sendiri beruntung masih berhubungan baik dengan keluarganya. Ia masih sering bertemu dengan adiknya. Bagi waria yang berpisah dengan keluarganya, komunitas yang terbentuk oleh pesantren semacam ini menjadi keluarga pengganti. Keakraban mereka tampak dari candaan-candaan yang tidak pernah absen. Misalnya YS yang mengaku-aku sebagai Ratu Jodha. Saya tertawa mendengarnya.

Yang berjilbab dan yang berkopiah

Peserta pengajian, yang rata-rata adalah waria. Foto oleh Prima Sulistya/Rappler

Kata Shinta, mereka ingin “jadi transgender, tapi tetap islami”. Salah satu caranya, di pesantren ini mereka mencari tahu tentang posisi waria dalam Al-Quran dan hadis.

Shinta mencontohkan Surat An-Nur ayat 31 yang memerintahkan perempuan untuk menutup aurat dan tidak menampakkan perhiasannya kepada yang bukan muhrimnya. Salah satunya adalah kepada “pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan)”. Kata Shinta, itu seperti mereka. 

Uniknya, ketika pengajian digelar atau ketika salat, tidak semuanya berbusana perempuan. Ada yang memakai jilbab atau mukena, ada yang pakai kopiah dan sarung. Shinta, misalnya, memakai jilbab. Termasuk di kehidupan sehari-hari.

“Yang tidak pakai mukena (ketika salat) itu percaya bahwa dirinya adalah ketika ia lahir, yaitu pria,” terang Zakaria.

Meski menjadi santri, tak serta-merta semua orang di pesantren ini menjadi religius. Semisal, masih ada yang bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK). Soal pekerjaan, waria memang tidak banyak pilihan. Rata-rata bekerja sebagai pegawai salon, pelayan toko, berjualan asongan, pengamen, penata rias, dan PSK. Namun, ada pula yang bekerja sebagai aktivis di lembaga swadaya masyarakat seperti yang dilakoni YS.

Pesantren unik ini juga mengundang perhatian dari berbagai penjuru. Misalnya Dita Pratiwi, mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang membagikan kuesioner tadi. Lalu Paige Johnson, mahasiswa University of California, Barkeley, yang sudah bolak-balik kemari untuk penyusunan disertasinya. Meski sudah sering datang, waria-waria di pesantren masih sulit menghapal nama Paige. Yang membuat geli, mereka malah menyebutnya “Bets”.

Tentang keberadaan pesantren untuk waria maupun waria itu sendiri, menurut Zakaria belum diakui dalam fikih islam di Indonesia. “Dalam fikih di Indonesia, hidup cuma dibagi menjadi dua, laki-laki dan perempuan.”

Tetapi mengapa ia tetap mau mengajar di sini?

Ia tersenyum lalu memberi jawaban yang teduh: “Sebab Islam tidak membeda-bedakan siapa pun. Yang berbeda agama juga bisa belajar (Islam), yang penting niatnya.” —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!