Ketua Perubahan Iklim PBB: Suhu bumi terus memanas

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketua Perubahan Iklim PBB: Suhu bumi terus memanas
Indonesia belum mengirimkan INDC, tapi sudah mengumumkan komitmen menurunkan emisi karbon ke 29%

JAKARTA, Indonesia — Sebanyak 64 negara sudah memasukkan proposal rencana penurunan emisi karbon. Jika semua penuhi komitmen, suhu bumi masih 3 derajat Celsius, dari target 2 derajat Celsius pada 2020.

Ketua Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) mengajak negara anggota untuk memastikan percepatan pencapaian target penurunan emisi karbon.   

Awal pekan ini, Ketua UNFCCC Christiana Figueres mengingatkan bahaya suhu bumi masih 3 derajat Celsius dan masih terus memanas.

Waktu berjalan terus menuju konferensi perubahan iklim Conference of Parties (COP) 21 di Paris, Perancis, Desember 2015.

Pertemuan yang akan dihadiri setingkat kepala pemerintahan itu bertujuan untuk memutuskan kesepakatan perubahan iklim internasional. Negara anggota diharapkan memasukkan rencana bagaimana mereka bakal menurunkan emisi karbon dan tindak lanjut setelah tahun 2020.

Proposal setiap negara tertuang dalam Intended National Determined Contribution (INDC), atau kontribusi yang diinginkan dari negara dalam menurunkan emisi karbon atau gas rumah kaca (GRK).

Figueres berulangkali mengingatkan bahwa jika semua menjalankan proposal, itu belum cukup untuk menurunkan suhu permukaan laut ke 2 derajat Celscius di atas tingkat pre-industri. 

Para ilmuwan mempercayai angka ini adalah target yang aman, dan mencegah dampak lebih buruk dari pemanasan bumi.

Figueres mengatakan bahwa telah terlihat perbaikan kondisi pemanasan bumi sejak negara-negara mulai membuat rencana. Sejauh ini 64 negara telah mengirimkan INDC-nya.

Indonesia belum mengirimkan INDC, tapi sudah mengumumkan komitmen menurunkan emisi karbon ke 29% dengan catatan business as usual, pada 2030. 

Ini disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, usai menghadap Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada akhir Agustus lalu. Siti didampingi Ketua Dewan Pengarah Nasional tentang Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja.

Siti menjelaskan bahwa INDC Indonesia pembangunan masa depan rendah karbon dengan fokus pada sektor pangan, energi, dan sumber daya air, serta memerhatikan karakter Indonesia sebagai negara kepulauan.

INDC Indonesia memiliki kekhasan dengan menjadikan masyarakat adat sebagai faktor penting dalam upaya mengatasi perubahan iklim. 

“Kita sudah menyepakati temanya, ketahanan iklim,” kata Siti.

Draf INDC Indonesia per 30 Agustus 2015 dapat dibaca di sini.

Usai mendampingi pertemuan itu, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyampaikan bahwa, “Presiden menginginkan Indonesia sebagai negara kepulauan itu memiliki karakter, kekhasan. Karena itu, message apa yang akan disampaikan di dalam forum itu supaya kita tidak hanya sekedar mengikuti apa yang menjadi kemauan dunia”. 

Proposal yang dituangkan dalam bentuk INDC, pada dasarnya menggambarkan juga posisi sebelumnya, di mana suhu permukaan laut menuju  4- 5 derajat Celcius.

“Kita sekarang menuju ke tingkat 3 derajat celcius,” kata Figueres.

Menurut Figueres, dari kurva jejak penurunan pemanasann global, terlihat bahwa di Paris nanti, negara-negara perlu fokus pada rencana aksi ke depan, juga mengisi kekurangan pendanaan bagi negara miskin yang diperkirakan bakal terkena dampak paling parah sebagai akibat kekeringan dan efek lain dari perubahan iklim.

“Sekuens waktu sangat mendasar. Bahkan jika kita bisa mencapai posisi titik nol, di mana kita bisa memperbaiki keseimbangan ekologi. Jika kita terlambat melakukannya,  kita tidak bisa melindungi mereka yang paling rentan terkena dampak,” kata Figueres.

Figueres berbicara dalam acara pengumuman penghargaan dari Program Pembangunan PBB untuk 21 inisiatif oleh masyarakat asli, atas kinerjanya dalam memerangi dampak perubahan iklim dan kegiatan lain yang bertujuan melindungi alam.

Aktor dan aktivis Alec Baldwin mengatakan bahwa upaya yang dilakukan penerima penghargaan menunjukkan kontribusi yang dilakukan komunitas lokal, yang mengalami begitu banyak tantangan perubahan iklim.  

“Kita memahami bahwa (pertemuan) Paris bukan misi yang mustahil, kita mengembang misi yang sangat penting,” kata Baldwin.

Pemenang dari Equator Prize, yang masing-masing menerima hadiah senile US$ 10.000 dolar dan perjalanan ke Paris mengikuti Konperensi Perubahan Iklim, termasuk di antaranya adalah suku Kayapo dari Brazil yang menggunakan kamera video untuk mendokumentasikan pembalakan hutan secara liar di are seluas 2,5 juta hektar.

Pemenang lainnya adalah Pusat Riset dan Promosi Daerah Aliran Sungai Yunnan Green, di Tiongkok yang bekerja melancarkan akses aliran air dari bendungan ke pertanian.

Tiongkok, negara yang disebut sebagai produsen emisi karbon terbesar, sudah memasukkan INDC ke UNFCCC pada Juni lalu.

Dalam acara yag diadakan oleh komunitas kebijakan luar negeri di Indonesia, Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia Xie Feng megatakan bahwa pada tahun 2030 Tiongkok akan memangkas emisi karbondioksida per unit dari setiap produk domestik bruto-nya sebanyak 60 persen ke 65 persen dibandingkan dengan  posisi 2005.  

“Tiongkok juga akan menaikkan kontribusi dari bahan bakar non-fosil dalam konsumsi energi primer menjadi 20 persen,” kata Xie Feng.

Indonesia, dalam kebijakan ekonomi yang diluncurkan Maret 2015, menargetkan penurunan impor bahan bakar minyak fosil sebanyak 15 persen tahun ini. 

“Kita akan gantikan dengan bahan bakar biofuel yang ramah lingkungan,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!