Siapa yang mendukung dan menolak pembentukan kader bela negara?

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Siapa yang mendukung dan menolak pembentukan kader bela negara?

GATTA DEWABRATA

Pemuda Muhammadiyah tak setuju, tokoh pemuda NU menolak, tapi ada yang melihat manfaat dari program bela negara

JAKARTA, Indonesia — Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan pemerintah Indonesia akan segera membentuk kader bela negara.

Menurutnya, pembentukan kader bela negara hingga sepuluh tahun ke depan untuk menciptakan Indonesia yang kuat.

“Kekuatan sebuah negara tak hanya alat utama sistem senjata (alutsista) semata, tetapi juga manusianya (rasa nasionalismenya) terhadap negara,” kata Ryamizard saat konferensi pers Program Pelatihan Bela Negara di kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, Senin, 12 Oktober.

Menurutnya, setiap warga memiliki hak dan kewajiban selama hidup di Indonesia. Selama ini, ia melihat banyak orang hanya menuntut haknya saja, sementara kewajiban tidak pernah ditunaikan.

Publik langsung bereaksi terhadap rencana pemerintah tersebut. Apa kata pemuda Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan mantan resimen mahasiswa soal rencana ini? 

‘Jangan main individu, main komunitas saja’

PEMUDA MUHAMMADIYAH. Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak. Foto diambil dari Twitter @Dahnilanzar

Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan sebelum gagasan ini dipaparkan oleh Ryamizard, organisasinya sudah memiliki Korps Komando Kesiagaan Angkatan Muda yang didirikan sejak 1960-an. 

Salah satu agendanya adalah untuk men-counter paham komunisme. 

Organisasi paramiliter ini sudah memiliki 10.000 anggota, terutama di pulau Jawa. “Mereka dilatih, kalau dalam bahasa kami, ‘Hisbul Wathon’ atau mencintai negara, mendoktrin agar mencintai negaranya,” kata Dahnil pada Rappler, Selasa, 13 Oktober. 

Cikal bakal Hisbul Wathon awalnya digagas oleh Jenderal Sudirman pada 1918, yang nantinya menjadi akar Pemuda Muhammadiyah. “Organisasi ini sudah tua dan sudah mengakar, punya mekanisme bela negara yang lengkap pula,” katanya.

Menurut Dahnil, pemerintah lebih baik menggandeng komunitas yang sudah ada, seperti Korps milik Muhammadiyah. “Kemenhan bisa berdikusi dengan masyarakat sipil yang sudah punya konsep di situ. Jangan memonopoli penyeragaman pemahaman bela negara,” katanya. 

“Jangan main individu, main komunitas saja.” 

‘Bela negara itu program yang memboroskan anggaran’

PEMUDA NU. Pemimpin redaksi NU (Nahdlatul Ulama) Online Savic Ali. Foto diambil dari Facebook.

Pemimpin redaksi NU (Nahdlatul Ulama) Online Savic Ali berpendapat bahwa program bela negara tidak penting dan bukan prioritas untuk saat ini. 

“Saya tidak melihat urgensi dari program semacam semi wajib militer dalam kondisi saat ini. Karena saya kira dengan strategi politik kawasan sekarang, Indonesia tidak membutuhkannya,” katanya pada Rappler. 

Menurutnya, bela negara itu diperlukan jika ada ancaman dari luar. Justru Savic tak melihat ada ancaman serius dari luar. Ia malah balik curiga, negara punya tendensi untuk menafsir konsep bela negara. 

Savic menambahkan, bahwa tanpa bela negara pun masih banyak warga yang mau mengangkat senjata. 

Tokoh pemuda NU masa kini ini juga menambahkan bahwa program bela negara berimplikasi pada anggaran. 

“APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sedang ketat, sebagian malah dibiayai utang. Sedangkan kita masih banyak membangun infrastruktur,” kata Savic. 

“Terus kita mau mengalokasi anggaran yang tidak kecil untuk sebuah program dalam konteks geopolitik hari ini yang tidak mendesak?” 

Pemerintah, kata Savic, harus memikirkan prioritas. “Jangan mengada-ngada. Bela negara itu program yang memboroskan anggaran,” katanya. 

‘Bela negara harus dikonsep ulang’

RESIMEN MAHASISWA. Alumni resimen mahasiswa angkatan 1986 yang juga wartawan senior Uni Lubis. Foto diambil dari Facebook.

Alumni resimen mahasiswa angkatan 1986 yang juga wartawan senior Uni Lubis berpendapat bahwa konteks bela negara harus diubah dan diarahkan ke intellectual based ketimbang fisik. 

“Perang yang kita hadapi lebih ke perang berbasis teknologi tinggi, kan. Cyber war. Technology war,” kata Uni yang juga merupakan Managing Director Rappler Indonesia.

Uni menjelaskan lebih lanjut bahwa pemerintah saat ini mungkin melihat tren anak muda yang kurang peduli soal Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mudah terbawa ke paham radikal. 

“Jadi bela negara ini mengasah kembali cinta tanah air, bela berkorban, siaga terhadap segala bentuk ancaman proxy war,” katanya. 

Sedangkan untuk latihan fisik, cukup yang ringan saja, sebagai bagian dari pelatihan di kamp.

Bagaimana denganmu, pro atau kontra?—Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!