Belajar kasus tanah dari penggusuran Kampung Pulo dan Bukit Duri

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Belajar kasus tanah dari penggusuran Kampung Pulo dan Bukit Duri
Adilkah birokrasi tanah pada masyarakat Kampung Pulo dan Bukit Duri?

 

 

JAKARTA, Indonesia—Dua kali Rappler meliput penggusuran di Jakarta, yakni di Kampung Pulo dan Bukit Duri. Dua penggusuran itu diwarnai oleh bentrok. 

Penggusuran Kampung Pulo pada 20 Agustus lalu berakhir rusuh. Bentrokan antara petugas Satpol PP dan warga Kampung Pulo pecah. Gas air mata ditembakkan oleh petugas. Batu-batu beterbangan dari arah kubu warga. Suasana di Kampung Pulo pun mencekam. 

Apa yang disengketakan antara pemerintah dan warga? Kepemilikan tanah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meyakini bahwa warga tak memiliki sertifikat kepemilikan tanah. Tanah di Kampung Pulo adalah milik negara, sehingga penggusuran yang dilakukan untuk pelebaran Kali Ciliwung itu tak bisa ditawar-tawar lagi. 

Pada Selasa, 12 Januari, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali melakukan penggusuran di tiga Rukun Tetangga di Bukit Duri, Jakarta Selatan. 

Warga kembali protes. Aparat kembali bermain kasar. Akibatnya anggota Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alldo Fellix Januardy terkena pukulan Satuan Polisi Pramong Praja. Meski dibantah oleh Kepala Satpol PP Pancoran Houtman. “Warga melawan,” katanya pada Rappler saat ditemui di lokasi kemarin. 

Warga tak punya sertifikat tanah 

Dalam tulisan Rappler sebelumnya berjudul Kontroversi kepemilikan tanah di Kampung Pulo disebutkan bahwa warga hanya memiliki dokumen tanah jenis verponding. 

Hal tersebut dikemukakan oleh tokoh masyarakat Kampung Pulo, Jatinegara, S Sholeh Husein Alaidrus, yang merupakan salah satu penghuni pertama di bantaran Kampung Pulo, Jatinegara. Ia pernah menikmati masa Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin.

“Tanah di sini kan asalnya verponding. Setelah itu pada tahun 1979 setiap warga mengurus sertifikat tanahnya di kelurahan,” katanya. Saat itu gubernur yang menjabat adalah Tjokropranolo.

Verponding adalah surat tagihan pajak atas tanah atau bangunan pada masa lampau, yang saat ini disebut sebagai Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB).

Untuk mengurus tanah tersebut menjadi hak milik, warga datang ke Kelurahan Kampung Melayu, termasuk Sholeh yang hendak menjual sebagian tanahnya. Di kelurahan itulah untuk pertama kalinya Sholeh mengaku ditawari sebuah draft baru dari kelurahan.

Tapi kata Sholeh, di sinilah awalnya warga kehilangan data kepemilikan tanahnya. “Karena saat ditanya nomor berapa verponding-nya? Tidak tahu. Karena memang tidak diberi nomor oleh kelurahan,” katanya.

Sholeh menuturkan bahwa banyak yang bernasib sama dengannya. Apalagi setelah mereka mendengar Kampung Pulo akan digusur. Tepatnya sejak zaman Gubernur DKI Sutiyoso. 

Menurut dia, sebagian dari mereka kemudian mengurus peningkatan surat ke Badan Pertanahan Negara (BPN) dan berhasil. Tapi tak semua warga beruntung, ada juga warga yang masih memproses kepemilikan tanahnya.

Belum lagi pungutan liar, yang menurut warga, mencapai Rp 30 jutaan per sertifikat. 

Ternyata kasus kepemilikan tanah di Kampung Pulo kembali terulang di Bukit Duri. Menurut pengacara publik dari LBH Jakarta Matthew Lenggu yang mendampingi warga, akta kepemilikan tanah ini memang tak dimiliki warga.  

“Kalau melihat kasus Bukit Duri mereka memang tak punya hak atas tanah, hak guna bangunan, atau apapun. Tapi mereka membayar pajak dan memanfaatkan tanah ini, “ katanya pada Rappler, Selasa kemarin. 

Warga Bukit Duri, kata Matthew, hanya memiliki surat keterangan zaman Belanda, sama seperti kasus warga di Kampung Pulo. 

Seperti kasus Siti Ayani, seorang warga asli Bukit Duri yang memiliki 40 lebih rumah kontrakan di sepanjang bantaran Kali Ciliwung tersebut dengan luas lahan 2.300 meter persegi tersebut hanya memiliki sertifikat tanah jenis verponding warisan ayahnya, Haji Madris. 

“Memang menurut keterangan Bu Ani, ia mendapatkan tanahnya itu dari warisan, dan tidak pernah dijual-belikan. Warisannya pun bentuk kepemilikannya adalah sertifikat surat berbahasa Belanda,” katanya. 

Sayangnya tidak semua warga mengetahui proses yang harus mereka tempuh untuk memutihkan surat itu menjadi surat tanah. Sebagian dari mereka malah kehilangan surat itu saat banjir nasional beberapa tahun lalu. Dokumen hanyut bersama barang-barang mereka di dalam rumah. 

Sehingga, kata Matthew, posisi warga Bukit Duri saat ini sangat lemah di mata hukum. Karena tak ada hitam di atas putih. 

LBH pernah memediasi hal ini dengan Kelurahan, agar warga mendapat kelonggaran. Bahkan dengan pihak kecamatan, balaikota, hingga sekretaris kota. Hasilnya nihil. “Mereka masih tetap dengan standing-nya bahwa warga menduduki tanah negara, dan enggak punya hak, maka harus pindah,” katanya. 

“Kami kemudian menyarankan agar warga melakukan penggugatan surat perihal pembongkaran di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Timur,” katanya lagi. Hingga saat ini proses gugatan itu masih berlangsung. 

Adilkah birokrasi tanah pada masyarakat? 

Tokoh masyarakat Kampung Pulo, Jatinegara, S. Sholeh Husein Alaidrus menunjukkan dokumen yang dia klaim sebagai bukti kepemilikan tanah. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

Sementara itu, data Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBHJ) menyebutkan, selama Januari hingga Agustus 2015 saja, pasca peristiwa Kampung Pulo, telah terjadi 30 penggusuran paksa di seluruh Jakarta. 

Menurut Matthew, angka penggusuran tahun ini bisa bertambah, karena menurut   penelitian LBH pada akhir 2014, ada 100 lebih titik yang memiliki karakteristik yang sama dengan Bukit Duri dan Kampung Pulo. 

Pengabdi bantuan bukum LBH Jakarta Alldo Fellix Januardy membenarkan hal tersebut. “LBH pernah bikin laporan dengan melihat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), setiap ada kata penertiban atau penataan lahan, bakal ada penggusuran di lokasi itu,” katanya. 

Masalah yang dihadapi warga sama dengan Kampung Pulo dan Bukit Duri, karena sertifikat berbahasa Belanda ataupun jenis verponding mereka tak terdaftar di BPN. 

Alldo menyebutnya dengan “ketidakadilan birokrasi” sebab rata-rata warga di lokasi tersebut kesulitan untuk mendaftarkan tanahnya di Badan Pertanahan Nasional setempat. “Warga Kampung Pulo contohnya, sudah mengurus tanah tapi enggak dikasih peluang,” kata pengacara publik yang menjadi korban pemukulan Satpol PP saat penggusuran di Bukit Duri Selasa kemarin ini. 

Warga berhak dapatkan sertifikat tanah 

Soal sengkarut tanah di bantaran Kali Ciliwung ini, Matthew dan Alldo, sepakat bahwa warga seharusnya bisa menguasai tanah. 

“Kalau dari sisi legal, barangsiapa dia menguasai tanah dengan itikad baik, mereka bisa memohon hak atas tanah itu, mereka punya akses,” katanya menjelaskan pasal 1963 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 

Kemudian di Peraturan Pemerintah Tanah no 24 tahun 1997 disebutkan bahwa warga bisa mendapatkan hak tanah sepanjang dia memelihara tanah itu. “Baru bisa dimohonkan haknya apabila dia bisa menempati dan menguasai lahan dengan itikad baik setelah kurang lebih 30 tahun,” katanya lagi. 

Untuk kasus Kampung Pulo dan Bukit Duri yang sudah menempat lahan tersebut sebelum kemerdekaan, Matthew mengatakan seharusnya mereka punya hak. 

Badan Pertanahan Nasional seharusnya menerbitkan surat tanah untuk mereka. “Karena jika tidak ini akan menjadi masalah struktural. Negara sewaktu-waktu bisa mengambil tanah yang dikuasai oleh warga,” katanya. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!