Penegak hukum dan Dirjen Pajak telusuri nama-nama dalam Panama Papers

Ursula Florene, Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Penegak hukum dan Dirjen Pajak telusuri nama-nama dalam Panama Papers

EPA

Bagaimana strategi perusahaan menghindari pajak?

JAKARTA, Indonesia — Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mendalami data Panama Papers secara proaktif. Pendalaman ini akan dilakukan bersama Direktorat Jenderal Pajak.  

“Untuk case Panama Papers ini, PPATK akan merespons secara proaktif dengan membahas info ini di internal dan juga bersama dengan Direktorat Jenderal Pajak,” ujar Wakil Ketua PPATK Agus Santoso pada Rappler, Kamis, 7 April. 

KPK juga mengatakan akan mempelajari nama-nama orang Indonesia yang disebut dalam dokumen hasil investigasi tentang kejahatan keuangan dunia tersebut. 

“KPK mempelajari nama-nama yang ada di dokumen itu,” ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief.

Direktorat Jenderal Pajak sendiri juga telah menyatakan siap mendalami data dokumen berisi 214.000 kesepakatan offshore selama hampir 40 tahun tersebut, yang berasal dari Mossack Fonseca, sebuah kantor pengacara yang berbasis di Panama dengan kantor di lebih dari 35 negara.

“Kita pakai sebagai data informasi tambahan dari data yang kita miliki,” ujar Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi ketika menggelar konferensi pers bersama Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, pada Rabu, 6 April.

Bambang menambahkan, Dirjen Pajak akan melihat apakah transaksi yang dilakukan pebisnis-pebisnis tersebut berimplikasi terhadap pembayaran pajak, sehingga tidak sesuai. 

“Pencucian uang itu bukan fokus saya, saya melihatnya apa udah bayar pajak atau belum, kami akan periksa,” ujar Bambang. 

Ken mengamini pernyataan Bambang. “Kasusnya macam-macam, kami lihat nanti, kan enggak semua mengemplang pajak,” ujarnya. 

Menyamarkan harta atau menghindari pajak? 

Kasus Panama Papers memang tak langsung digolongkan mengemplang pajak. Tapi apakah perusahaan yang bersangkutan termasuk menyamarkan harta atau menghindari pajak? 

“Pertama, menghindari pajak. Kedua, menyamarkan ultimate holder atau pemegang saham terakhirnya,” ujar Agus.

Ia menjelaskan maksud dari menghindari pajak antara lain untuk membuat subsidiary atau anak perusahaan di British Virgin Island, yang merupakan kawasan tax haven alias sebuah negara atau kawasan yang tidak dikenakan pajak, kemudian menggunakan jasa firma hukum di Panama. 

Lalu bagaimana praktik perusahaan bisa mengurangi pajak?

Agus memberi contoh sebagai berikut: Sebuah induk perusahaan ingin mengekspor baju ke Singapura seharga Rp 100.000. Tapi perusahaan tak langsung menjualnya ke Singapura. 

Perusahaan tersebut menjual terlebih dulu baju dagangannya ke anak perusahaan di British Virgin Island yang menerapkan tax haven dengan harga Rp 100 ribu. Lalu anak perusahaan tersebut akan menjual ke pasar di Singapura. 

“Jadi perusahaan induk dikenakan pajak dari Rp 60.000 per potong baju, bukan Rp 100.000,” ujar Agus. Di pasaran pun harga baju dagangan lebih murah karena bisa menghindari pajak tersebut. 

Praktik menghindari pajak ini, kata Agus, juga terjadi di kasus lain. Seperti kasus aset Bank Century yang tersimpan di Swiss dan harta mantan putra presiden, Tommy Soeharto, yang tersebar di luar negeri. 

“Firma hukum Mossack ini boleh dibilang sebagai gatekeepers bagi perusahaan-perusahaan ini. Dia lah yang menjadi calo untuk mengurus agar perusahaan tidak kena pajak,” ujar Agus. 

Lalu apakah perusahaan tersebut bisa diusut secara hukum? 

Menurut Agus, jika ada dana hasil korupsi dan perdagangan narkotika serta obat-obatan terlarang, maka nama-nama terkait bisa diusut.

Penegak hukum, kata Agus, mengaku siap untuk menelisik data-data tersebut. Meski di dunia bisnis, praktik ini dianggap lazim. 

Seperti yang diungkap pakar hukum Todung Mulya Lubis. Menurut Todung, “paper companies” atau “US$ 1 companies“, adalah perusahaan-perusahaan yang dijadikan kendaraan bisnis. Biasanya dibuat terpisah dari induk usaha agar liability —atau kewajibannya tidak merembet ke induk usaha.

Anak perusahaan itu biasanya didirikan di Cayman Island atau British Virgin Island, tempat di mana tax haven diberlakukan.  

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang mengundang masuknya modal asing tak bisa menolak perusahaan yang didirikan di British Virgin Island, salah satu negara bebas pajak, yang membawa masuk investasi sebesar US$ 500 juta misalnya.

Menurut Todung, keberadaan paper companies dilematis. Pada satu sisi, paper companies atau “shell companies” ini memang realita bisnis yang terdapat di mana-mana. Tetapi, pada sisi lain memang di sini terdapat semacam penyamaran kepemilikan dan keinginan untuk tak membayar beban pajak.

Sandiaga Uno, mantan petinggi di perusahaan Saratoga yang namanya disebut dalam Panama Papers, juga menjelaskan bahwa proses dan penciptaan lapangan kerja sangat lazim menggunakan jasa penyedia offshore corporations (perusahaan yang berbadan hukum di kawasan tax haven). 

“Tentunya semua dalam koridor hukum, insya Allah ke depan Indonesia tetap bisa menarik investasi agar bisa membuka lapangan kerja di tengah situasi ekonomi yang semakin penuh tantangan,” ujar Sandiaga.

Ia merasa tak ada yang salah dengan langkah perusahaan saat itu. 

Tapi seperti kata mantan ketua umum Kamar Dagang Indonesia, Suryo Sulisto Bambang, heboh mengenai orang Indonesia terlibat dalam pendirian perusahaan offshore atau paper company, perlu ditelaah dengan hati-hati. Sebab beberapa perusahaan tersebut telah mati. 

Wakil Ketua PPATK Agus Santoso juga menambahkan, jika tidak ada niat jahat dari pemilik perusahaan, kenapa harus mengindari pajak lewat praktik ini? —dengan laporan dari Uni Lubis/Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!