Menuju digitalisasi jasa keuangan

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menuju digitalisasi jasa keuangan
Butuh persiapan baik dari segi regulasi maupun pola pikir pelaku usaha.

JAKARTA, Indonesia – Revolusi teknologi tak hanya terjadi pada sektor perdagangan dan transportasi saja. Industri jasa keuangan pun sudah mulai banyak memanfaatkan dasar teknologi, populer dengan nama financial technology (fintech).

“Pelakunya sekarang sudah banyak, dan kami melihat trennya juga tengah menuju ke sana,” kata Teguh B. Ariwibowo, inisiator Indonesia FinTech Forum di Jakarta pada Rabu, 1 Juni. Digitalisasi jasa keuangan, seperti dalam hal pinjaman, asuransi, hingga pembayaran, dapat mengatasi permasalahan yang ada di Indonesia saat ini, kata Teguh.

Menurut data Bank Dunia pada 2014, hanya sekitar 36 persen masyarakat Indonesia yang terhubung dengan lembaga keuangan formal. Padahal, aktivitas perekonomian masyarakat Indonesia saat ini terus berkembang dan membutuhkan kecepatan dan kemudahan.

Jasa modal dan pembayaran

Pada kesempatan sama, Teguh juga memperkenalkan perusahaan FinTech yang diprakarsainya: Pinjam.co.id. Sistem kerjanya kurang lebih mirip dengan pegadaian, hanya lebih modern.

Biasanya, masyarakat harus membawa barang langsung ke pegadaian untuk ditaksir nilainya. “Kalau kami menyediakan jasa taksir barang online, jadi cukup unggah foto barang yang mau digadaikan, kami berikan taksiran nilainya,” kata dia.

Kalau nilai gadai sudah disepakati, peminjam dapat mengantarkan barang sendiri ke kantor Pinjam terdekat, atau bisa menggunakan jasa kurir antar dijemput. Teguh mengatakan perusahaannya mematok harga Rp 35 ribu untuk biaya kurir.

Saat ini, mereka sudah memiliki kantor cabang di Mojokerto dan dua di Jakarta. “Kami akan menambah satu lagi,” kata dia.

Untuk pinjaman, perusahaan yang sudah berdiri sejak 2015 ini mendapat dana dari investor. Modal awal Teguh dan kawan-kawan ada sebesar Rp 2 milyar, dengan besar pinjaman yang dicairkan mulai dari puluhan hingga ratusan juta.

Kebanyakan peminjam memanfaatkan modal untuk memulai usaha baru. Mereka bisa mengembalikan dalam jangka waktu tiga minggu atau lebih. Bila gagal mengembalikan pinjaman pada waktu yang disepakati, Pinjam akan melelang barang gadai dan mengambil sesuai pinjaman yang belum dikembalikan.

Untuk tahun 2016 ini, Pinjam menargetkan angka investasi mencapai Rp 100 milyar. Teguh mengatakan sudah ada beberapa investor lain yang tertarik menanamkan modal, tetapi enggan membeberkan namanya. Kalau sudah berkembang, Teguh mengatakan, akan mengembangkan Pinjam menjadi penyedia modal peer to peer.

Bila Pinjam menyasar area permodalan, ada Cashlez yang menyediakan jasa pembayaran digital. Mereka memanfaatkan sejenis Electronic Data Capture (EDC) yang bisa dibawa kemana-mana.

“Target market kami adalah perusahaan jasa antar barang seperti TIKI, yang memudahkan mereka cash on delivery (COD),” kata dia.

Mesin milik Cashlez ini terhubung dengan ponsel lewat bluetooth, dan dapat membaca kartu debit maupun kredit.

Bukti pembayaran akan tercatat secara otomatis, dan dikirim ke e-mail pelanggan. Bahkan, tandatangan untuk pembayaran lewat kartu kredit juga bisa lewat layar handphone.

Direktur PT Bank Mandiri (Persero) Rico Usthavia Frans menyambut baik geliat industri baru ini. “Kami siap berkolaborasi,” kata dia.

Ia mengatakan bank dapat memanfaatkan teknologi baru ini untuk terus menginovasi sistemnya sendiri.

Persiapan regulasi dan mental

Cashlez dan Pinjam hanya dua dari 40 pelaku FinTech yang tergabung dalam Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (AMVESINDO). “Banyak sekali kalau menghitung yang belum terdaftar,” kata Teddy yang juga menjabat sebagai Ketua Kompartemen FinTech AMVESINDO. Ke depannya, jumlah pemain di bidang ini juga akan melonjak.

Apalagi, setelah tax amnesty , akan ada dana Rp 200 triliun yang akan masuk ke industri FinTech. “Jadi harus ada regulasinya,” kata dia.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memang sudah menggodok peraturan terkait FinTech, namun belum ada kepastian kapan akan disahkan. Salah satu aturan yang sudah bocor yakni modal minimum pelaku usaha FinTech harus minimal Rp 50 miliar.

Teguh menyatakan sanggup untuk memenuhi persyaratan tersebut, namun Teddy menganggap terlalu besar.

Direktur Eksekutif 3c Wireless Asia Ted Marr mengatakan masa depan industri keuangan mengarah pada digitalisasi. Karena itu, para pelaku usaha harus bisa mengadaptasikan pola pikir mereka.

Tantangan lain adalah bagaimana mengubah pola pikir masyarakat Indonesia yang cenderung gagap menyikapi teknologi. Executive President 3C Wireless Asia, Ted Marr, mengatakan tantangan berbisnis teknologi di Indonesia memang bukan infrastruktur saja, tetapi juga pola pikir yang cenderung konvensional.

“Saya kira para pelaku usaha, apalagi yang sudah tua, harus lebih terbuka lagi dalam menerima teknologi. Bagaimanapun juga, ini masa depan industri keuangan,” kata dia. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!