Akulturasi Islam dan tradisi lokal dalam Al-Qur’an batik

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Akulturasi Islam dan tradisi lokal dalam Al-Qur’an batik
Pembuatan mushaf dari batik ini diperkirakan memakan waktu sekitar satu tahun dan baru akan selesai Ramadan 2017, dengan melibatkan ratusan orang.

SOLO, Indonesia – Ramadan bukan hanya istimewa bagi umat Muslim karena merupakan bulan puasa, tetapi juga karena di bulan suci itu Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad, pembawa ajaran Islam. Setiap 17 Ramadan, hari ketika ayat pertama diwahyukan, Muslim di berbagai negara memeringatinya dengan berbagai cara, seperti acara menyimak hafalan Al-Qur’an.

Di Kampung Laweyan, Solo, Jawa Tengah, sejumlah orang membatik teks Al-Qur’an dengan menggunakan malam (lilin batik) panas di atas kain putih berukuran 80 x 115 cm berbingkai motif batik kawung. Mereka sedang membuat mushaf Al-Qur’an dari batik untuk pertama kalinya di dunia.

Ide ini datang dari Yayasan Indonesia Menulis Al-Qur’an, Yayasan Yasin Amal, dan kelompok perajin batik Laweyan sebagai bagian dari gerakan Solo Batik Quran (SBQ) tahun ini. Gerakan ini bukan hanya bertujuan untuk menghasilkan karya monumental berupa mushaf batik pertama kali di dunia, melainkan juga untuk menumbuhkan semangat mempelajari Al-Qur’an.

Karenanya, mereka melibatkan masyarakat umum termasuk mahasiswa, pelajar, dan siapa saja yang tertarik untuk menulis (menyalin) Al-Qur’an. Sedangkan, pembatikan hanya dilakukan oleh orang yang punya keterampilan karena membatik teks ayat suci membutuhkan akurasi tinggi untuk menghindari kesalahan. 

Tetesan malam dari canting (pena tradisional untuk membatik) yang tidak disengaja bisa membuat titik yang mengacaukan huruf hijaiyah jika lolos dari pengecekan.

“Ini bukan batik komersial, tetapi gerakan bersama yang melibatkan semua orang, dari pembatik sampai ulama,” kata Alpha Fabela Priyatmono, inisiator pembuatan mushaf Al-Qur’an batik.

Masyarakat yang ikut terlibat menyalin ayat secara langsung akan membaca teks Al-Qur’an, kemudian menuliskannya di atas kain. Cara ini terinspirasi oleh Follow the Line, yaitu metode menulis dan membaca Al-Qur’an dengan cara menebalkan garis-garis tipis huruf hijaiyah bersambung yang merangkai ayat.

“Ini lebih dari membuat karya, tetapi gerakan untuk lebih kenal dan dekat dengan Al-Qur’an,” ujar Heru Joko Waluyanto dari Yayasan Indonesia Menulis Al-Qur’an.

Proses manual

Kampung Laweyan, salah satu kampung Muslim tertua di Jawa yang sudah ada sejak Kerajaan Islam Pajang pada tahun 1540-an. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Pembuatan mushaf batik semuanya dikerjakan secara manual, dimulai dengan pemotongan kain polos menjadi lembaran menyerupai halaman buku dan kemudian digambari pola batik pada bagian bingkainya dengan pensil. Bagian tengahnya diisi baris-baris ayat Al-Qur’an, menyalin secara persis dari kitab suci yang diperbesar ukurannya.

Setelah pembuatan pola dengan pensil, pembatik menebalkannya dengan menggunakan malam yang dididihkan. Proses ini paling rumit, karena pola yang dibuat oleh canting nanti akan menghasilkan tulisan akhir berwarna putih atau krem karena tidak tercelup selama proses pewarnaan. Malam berfungsi menutup rajutan benang pada kain dari penetrasi pewarna serat.

Selesai pembatikan, kain dicek secara bersama oleh penghapal Al-Qur’an dan pakar. Jika proses koreksi menemukan kesalahan, kekurangan, maupun kelebihan huruf atau harakat, maka akan dibetulkan sebelum distempel untuk proses akhir, yaitu pencelupan warna.

Lembaran-lembaran kain berayat suci ini akan dicelup ke dalam larutan pewarna alami (natural dye) berbahan kayu soga yang menghasilkan warna cokelat klasik khas batik Solo. Pencelupan dilakukan sampai lima kali untuk mendapatkan intensitas warna yang cemerlang.

“Proses paling akhir nanti merangkai halaman secara berurutan seperti kitab Al-Qur’an,” ujar Alpha.

Pembuatan mushaf dari batik ini diperkirakan memakan waktu sekitar satu tahun dan baru akan selesai Ramadan 2017, dengan melibatkan ratusan orang. Setiap satu lembar kain dikerjakan 4 orang, dari mulai membuat pola, membatik, mengoreksi tulisan Arab sesuai standar Al-Qur’an, hingga mewarnai kain.

Al-Qur’an batik itu diperkirakan akan menghabiskan ribuan yard kain katun putih. Tidak seperti halaman kertas yang bisa memuat teks bolak-balik atau satu lembar untuk dua halaman, pembuatan batik hanya bisa satu lembar kain untuk satu halaman. Jadi jumlah lembaran kain yang dibutuhkan adalah dua kali halaman mushaf kertas.

Islam dan budaya lokal

Perpaduan antara huruf Arab dan ornamen batik kawung. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Pembuatan Al-Qur’an ini, menurut Alpha, merupakan proses akulturasi antara teks asli berbahasa Arab dengan proses pembuatan batik Jawa, dan melibatkan motif-motif tradisional Nusantara. Pembuatan mushaf batik ini juga sebagai wujud bahwa Islam selaras dengan nilai tradisional.

“Karena dibuat di Indonesia, kami ingin menekankan karakter lokal dalam ornamen Al-Qur’an. Pada bingkai halamannya, kami akan memasukkan semua motif tradisional Nusantara, tidak hanya Jawa, tetapi juga motif Kalimantan, Papua, dan daerah lain,” ujar Alpha.

Al-Qur’an batik merupakan upaya penegasan kembali syiar Islam di Jawa yang disebarkan oleh Wali Songo dengan cara damai – mengadopsi budaya dan kebiasaan setempat sebagai media dakwah. 

Pertautan antara Islam dan batik sudah terjadi sejak lama di Kampung Laweyan. Kampung seluas 24 hektar ini sudah ada sejak 1540-an sebagai sentra industri lawe (benang bahan tenun) pada zaman Pajang, kerajaan Islam di Jawa setelah Demak. Di kampung ini juga ada salah satu masjid tertua yang didirikan oleh Ki Ageng Henis, moyang dari raja-raja dinasti Mataram Islam (Surakarta dan Yogyakarta).

Konon, Laweyan merupakan kampung modern pada zamannya karena sudah mengenal perdagangan dengan bangsa lain, terutama Eropa dan Arab, yang bisa dilacak dari arsitektur rumah-rumah asli yang merupakan campuran gaya Jawa, Islam, dan Eropa. Bahkan, konon saudagar Laweyan mendatangkan keramik untuk ubin rumahnya langsung dari Eropa.

Laweyan dilalui sebuah sungai yang terhubung dengan Bengawan Solo, jalur perdagangan masa lalu yang ramai, menghubungkan wilayah pedalaman Jawa dengan daerah luar seperti Tuban dan Gresik. Dalam bukunya yang berjudul History of Java, Thomas Stamford Raffles menulis kesaksiannya tentang sungai itu yang menjadi jalur perahu-perahu besar yang mengangkut komoditas dari hulu ke hilir dan sebaliknya.

Sejak zaman Mataram Islam, kampung ini berubah menjadi industri batik yang makmur, sebuah wilayah elit di luar istana – dan mengalahkan pamor Keraton Surakarta – yang bukan dihuni para bangsawan, tetapi para saudagar batik.  Pada masa pergerakan nasional 1900-an, di Laweyan berdiri sebuah organisasi pengusaha pribumi pertama, Syarikat Dagang Islam (SDI) – cikal bakal Syarikat Islam (SI) – yang dipelopori oleh KH Samanhudi, seorang saudagar batik sekaligus ulama di kampung.

Islam menjadi spirit gerakan para saudagar batik untuk memerdekakan orang-orang pribumi dari penjajahan. Sejak itu pula, Kampung Laweyan dimata-matai Belanda. Di balik tembok tinggi yang mengelilingi rumah, para saudagar batik membuat pintu penghubung antar tetangga yang berguna untuk mengungsikan orang-orang dan pekerja pabrik saat inspeksi oleh Belanda.

“Islam sudah ada berabad-abad di sini, bahkan sebelum Kota Solo berdiri, agama itu membaur, dan menyebarkan semangat perubahan positif,” ujar Heru dari Yayasan Indonesia Menulis Al-Qur’an. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!