Limbah Pustaka: Perpustakaan keliling sambil mengangkut sampah

Irma Mufilikhah

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Limbah Pustaka: Perpustakaan keliling sambil mengangkut sampah
Kesadaran mengumpulkan sampah dengan sendirinya tumbuh, bersamaan dengan naiknya minat baca masyarakat

PURBALINGGA, Indonesia — Hendarti tak canggung berkeliling Desa Muntang di Purbalingga, Jawa Tengah, sembari mengendarai sepeda motor roda tiga dengan bak terbuka.

Di atas bak tersebut terpajang ribuan koleksi buku. Sejak beberapa tahun terakhir, Hendarti memutuskan menyulap kendaraannya menjadi perpustakaan berjalan. Ia membuat tiga rak kayu yang dipasang pada masing-masing sisi dan bagian belakang bak.

Saat hendak keliling, ribuan buku dari Perpustakaan Desa (Perpusdes) di rumahnya ia pindahkan ke rak tersebut. Pajangan bukunya menarik mata warga, termasuk anak-anak. Tak jarang mereka langsung menyerbu perpustakaan Hendarti untuk berburu buku kesukaan mereka.

“Ibu rumah tangga sukanya buku kuliner. Bapak-bapak biasanya mencari buku pertanian dan budidaya. Anak-anak gemar buku dongeng,” kata Hendarti kepada Rappler.

Keseriusannya menggarap perpustakaan berawal dari keprihatinan Hendarti terhadap kenakalan remaja di desanya. Para remaja di Desa Muntang, menurut Hendarti, banyak disibukkan dengan hal-hal negatif, seperti bermabuk-mabukkan dan mengonsumsi narkoba.

Oleh karenanya, ia ingin mengalihkan perhatian remaja dengan kegiatan membaca agar mereka tak terpengaruh pergaulan yang menjerumuskan ke jurang kekelaman.

“Jika mereka sudah mau membaca, kita akan lebih mudah memberikan nasihat baik kepada mereka. Membaca perlahan akan mengubah perilaku mereka,” ujarnya.

Rela berkorban pulsa

Hendarti mulai menggarap perpustakaan sejak 2007. Kala itu, ia prihatin melihat Perpusdes di Balai Desa Muntang selalu sepi pengunjung. Perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai perangkat desa itu pun memutuskan memindahkan Perpusdes dari kantor Balai Desa ke rumahnya.

Ia mengikhlaskan separuh bangunan rumahnya untuk ruang perpustakaan. Bekas ruang tamu miliknya ia sulap jadi ruang baca yang dikelilingi banyak rak buku.

“Pikir saya, kalau warga membaca dan meminjam di rumah, mereka lebih leluasa dan santai, tidak seperti di Balai Desa,” ucapnya.

“Saya berupaya meningkatkan kesadaran warga terhadap pencemaran lingkungan, sekaligus memberdayakan ibu-ibu rumah tangga untuk mengolah sampah jadi barang berharga.”

Keberadaan perpustakaan desa di rumahnya ternyata mendapat tanggapan positif dari warga. Satu per satu warga, terutama anak-anak, mulai berkunjung ke Perpusdes di rumahnya.

Agar kunjungan ke Perpusdes terus meningkat, ia memikirkan cara untuk berinovasi. Hendarti melengkapi Perpusdes dengan komputer dan laptop yang terkoneksi dengan internet. Bahkan ia rela berkorban pulsa agar koneksi internet di Perpusdesnya tetap lancar.

“Memang kunjungan meningkat sejak ada internet, tapi lama-lama saya tekor karena pulsa Rp50 ribu bisa habis tiga hari untuk pemakaian internet,” akunya.

Meski demikian, Hendarti merasa belum puas dengan hasil yang telah dicapainya. Ia ingin, seluruh masyarakat bisa mengakses Perpusdes. Sampai akhirnya, ia memutuskan jemput bola agar buku-bukunya bisa terbaca warga.

Saat sore, ia memindahkan buku-buku dari rak di Perpusdes ke rak yang ia ikat dengan bak sepeda roda tiganya. Hendarti bersiap menawarkan buku-bukunya agar dibaca atau dipinjam secara gratis. 

Memadukan perpustakaan dengan bank sampah

Hendarti, yang juga merupakan aktivis peduli lingkungan, membuat inovasi lainnya, yaitu mengajak warga mengelola sampah saat berkeliling desa.

Alhasil, motor modifikasinya ia buat multifungsi. Hendarti siap menampung sampah masyarakat yang ia angkut ke dalam bak.

PERPUSTAKAAN DESA. Anak-anak sedang membaca buku di Perpustakaan Desa di rumah Hendarti. Foto oleh Foto oleh Irma Muflikah/Rappler

Warga bisa menukarkan sampah anorganik mereka dengan uang kepada Hendarti. Sambil menukar sampah, mereka juga bisa meminjam buku atau membacanya di tempat di perpustakaan Hendarti. Karena dipadukan dengan bank sampah, warga menyebut perpustakaan keliling Hendarti dengan Limbah Pustaka.

Keberadaan perpustakaan itu rupanya mampu merangsang warga untuk menyetor sampah. Kesadaran mengumpulkan sampah dengan sendirinya tumbuh, bersamaan dengan naiknya minat baca masyarakat.

“Kalau meminjam buku saja mungkin mereka merasa enggak enak, akhirnya mereka juga terdorong untuk mengumpulkan sampah,” katanya.

Sampah-sampah yang terkumpul kemudian diolah oleh para perempuan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) menjadi aneka kerajinan tangan, di antaranya buket bunga, tas, dompet, dan keranjang. Hasil penjualan barang kerajinan itu dikembalikan ke warga yang menukar sampah.

“Saya berupaya meningkatkan kesadaran warga terhadap pencemaran lingkungan, sekaligus memberdayakan ibu-ibu rumah tangga untuk mengolah sampah jadi barang berharga,” ujarnya.

Namun, perjuangan Hendarti sering kali menuai kendala. Ia kerap dicibir oleh sejumlah warga yang sinis dengan aktivitasnya. Buku-buku yang dipinjam warga juga ada yang tidak kembali, atau kembali dalam kondisi rusak.

Meski demikian, semangat Hendarti tak kendur. Ia berharap, seiring minat baca warga meningkat,  pemerintah desa bisa menyambutnya dengan membangun gedung Perpusdes yang memadai.

“Saya tidak dapat materi dari apa yang saya kerjakan selama ini, tapi mendapatkan berkah. Saya diberi kemudahan untuk menguliahkan anak,” harapnya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!