Tadarus Al-Qur’an, ngabuburit ala santri ponpes waria Al-Fatah

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tadarus Al-Qur’an, ngabuburit ala santri ponpes waria Al-Fatah
Selama Ramadan, pengajian di Pesantren Al-Fatah berlangsung dua hari, setiap Rabu dan Minggu

YOGYAKARTA, Indonesia — Sejumlah waria (wanita-pria) mulai memenuhi teras joglo Pesantren Al-Fatah di Kota Gede, Bantul, Yogyakarta, pada Minggu, 11 Juni. Mereka menunggu waktu berbuka puasa sambil bertadarus membaca Al-Qur’an. 

Di antara mereka ada Shinta Ratri, Ketua Pondok Pesantren Al-Fatah. Transgender berusia 55 tahun itu bertadarus sambil mengenakan kerudung berwarna cokelat muda. Sejak berusia 28 tahun, Shinta memutuskan berkerudung, menutup rambutnya dengan rapat untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang Muslim. Sementara waria lain bertadarus mengenakan peci yang sering digunakan laki-laki.

“Saya merasa saya perempuan, saya tinggal di Kota Gede dan keluarga saya membesarkan saya dengan bekal agama yang cukup. Tahun 1989 saya mulai berkerudung,” kata Shinta.

Shinta membaca Surah Hud menjelang petang. Lantunan suaranya menyentuh kalbu, membaca setiap huruf dan lafaznya dengan khidmat.

Seorang teman ikut menyimak ayat yang sama di sebelahnya. Kemudian seorang waria lain kemudian ikut bergabung, duduk bersimpuh membentuk lingkaran kecil. Berbeda dengan Shinta, waria tersebut tidak mengenakan kerudung untuk menutup rambutnya. 

Sejak 28 tahun lalu, Shinta tak pernah menanggalkan kerudungnya. Seperti hijaber saat ini, kerudung Shinta juga mengalami perkembangan model, mengikuti zaman. Mulai dari kerudung sederhana hingga hijab tertutup rapat saat ini. 

Niatnya berkerudung berasal dari keinginannya menjadi seorang Muslim yang baik serta dukungan dari orangtua. “Dulu kerudungnya sederhana, hanya disampirkan, model NU [Nahdlatul Ulama] begitu. Sampai sekarang hijab tertutup. Ibu saya saat itu sangat suka,” kata sarjana Biologi Universitas Gadjah Mada itu. 

Sore itu, kerudungnya berwarna senada dengan gamis yang dikenakannya. “Kerudung ini meminimalisir godaan, bullying, yang ditujukan pada perempuan,” ucapnya.

‘Prinsip utama ibadah adalah kenyamanan dan menutup aurat’

RAMADAN. Santri waria dan pengunjung Pesantren Al-Fatah melaksanakan ibadah salat Maghrib pada 11 Juni 2017. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler

Shinta menyebut tak semua waria memutuskan sikap seperti dirinya. Dari 42 santri di Pondok Pesantren waria Al-Fatah, sekitar 10 waria mengenakan kerudung dan konsisten mengenakan mukena saat salat. Sementara yang lain memilih mengenakan sarung, celana, serta penutup kepala seperti peci atau kopyah ketika salat. 

“Saya lebih nyaman sebagai laki-laki ketika beribadah. Allah yang tahu. Terpenting adalah kenyamanan dan kemantapan saya menjadi laki-laki [ketika beribadah] agar doanya diterima,” kata Nunik, seorang waria yang terlahir dengan nama Suyatno.

Tak lama berselang, suara adzan Maghrib tiba. Setelah membatalkan puasa dengan menyantap takjil, Nunik mengambil air wudu dan masuk dalam saf salat, berbaris di antara laki-laki. 

Arif Nuh Safri bertindak sebagai imam. Jamaahnya membentuk empat baris, tiga baris terdepan adalah laki-laki dan satu baris di belakang adalah saf perempuan. Shinta ada di baris tersebut dengan mengenakan mukena berwarna hijau tosca.

“Latar belakang munculnya agama adalah penindasan pada kemanusiaan. Jangan hanya menghujat tanpa mau melihat waria ini seperti apa. Bahkan Nabi Muhammad mencontohkan dengan mendatangi, berdiskusi hingga melayani orang yang memusuhi beliau.”

Bagi Arif, prinsip utama dalam ibadah adalah kenyamanan serta menutup aurat. Ulama berusia 33 tahun itu tidak memaksakan untuk menyeragamkan anggota pondok pesantren waria dalam busana ibadah, antara laki-laki atau perempuan. 

“Saya hadir di sini melihat perbedaan yang ada dalam diri mereka. Saya melihat mereka nyaman dengan perbedaan itu, dan ngapain juga saya harus ngotot mengubah itu,” kata Arif kepada Rappler seusai memimpin salat Maghrib. 

Menurutnya, penutup aurat tak harus menggunakan bentuk yang seragam, tetapi lebih mengutamakan fungsinya. Dalam beribadah, Arif mendorong waria untuk konsisten dengan busana serta tata cara apapun yang paling membuat mereka nyaman. 

“Jadi kalau sekarang pakai sarung, ya besok jangan pakai mukena, harus konsisten,” ujarnya.

Agama melawan penindasan pada kemanusiaan

Arif, yang juga menjadi pengajar tafsir di Institut Ilmu Al-Qur’an Bantul itu mengatakan, ia merasa waria sebagai kelompok yang sering termarjinalkan dan terpinggirkan sangat membutuhkan perhatian, bukan hujatan. Sikap itu yang menurutnya juga ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada pada siapapun yang memusuhinya. 

“Latar belakang munculnya agama adalah penindasan pada kemanusiaan. Hadirnya agama di tengah ketimpangan sangat penting,” kata pria yang telah terlibat di Pondok Pesantren Al-Fatah sejak 2010 itu.

“Jangan hanya menghujat tanpa mau melihat waria ini seperti apa. Bahkan Nabi Muhammad mencontohkan dengan mendatangi, berdiskusi hingga melayani orang yang memusuhi beliau.”

Selain menuai perdebatan dalam perbedaan sikap beragama, Arif juga kritis pada peran pemerintah. Menurutnya, pemerintah harus ikut berproses dalam masalah yang sering dihadapi oleh waria. Misalnya tentang pemulasaraan  (merawat jenazah) waria, apakah dilakukan menggunakan cara laki-laki atau perempuan. Sebab seringkali masalah muncul ketika waria meninggal dan keluarga berdebat tentang cara pemakamannya. 

“Waria ada juga yang ingin dimakamkan secara perempuan. Saya sempat usul untuk melibatkan notaris dalam menerbitkan dokumen resmi tentang keinginan pemulasaraan jenazah seorang waria. Tapi usul ini masih belum ada respon. Saya rasa, pemerintah juga harus ikut berproses di dalamnya,” katanya.

Menurutnya, pandangan dan keberpihakannya terhadap waria sering mendapat kritik. Lulusan Pasca Sarjana Studi Al-Qur’an dan Al-Hadis tersebut juga mengatakan sering diragukan keislamannya. 

“Saya dianggap liberal dan harus mengulang syahadat. Dalam pengertian awam, liberal adalah kata lain yang serupa dengan murtad,” ucapnya.

Arif rutin mendampingi santri di Pondok Pesantren Al-Fatah. Selama Ramadan, pengajian akan berlangsung dua kali dalam sepekan, yaitu setiap Rabu dan Minggu. Sementara di luar Ramadan, pengajian berlangsung setiap Minggu. Di pondok tersebut, waria mengaji dan salat, berpeci atau bermukena dalam saf masing-masing. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!