17 tahun, Sugi mengajar siswanya sambil berbaring karena lumpuh

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

17 tahun, Sugi mengajar siswanya sambil berbaring karena lumpuh
Sugiarto mengajar mengaji Al-Qur’an dari tempat tidurnya. Kecelakaan yang melumpuhkannya tak memupus semangatnya untuk membagi ilmu

 

BANYUMAS, Indonesia — Separuh badan Sugiarto (38 tahun), warga Desa Karangbawang, Banyumas, Jawa Tengah, boleh saja mati rasa, namun semangatnya untuk mengajar tak pernah lumpuh.  

Dua puluhan bocah berbusana Muslim mengucapkan salam saat memasuki kamar Pak Ustadz Sugiarto. Masing-masing bergantian menyalaminya, lalu menempatkan diri mereka di sisi ranjang. 

Keterbatasan ruang membuat para bocah itu harus duduk berhimpitan. Seketika kamar sempit itu berubah menjadi ruang kelas. 

Sugi, begitu ia biasa dipanggil, hanya bisa melirikkan bola mata untuk menatap murid-muridnya. Kepalanya susah digerakkan. Separuh badannya ke bawah lumpuh total.   

Beruntung lidahnya masih normal. Tangannya masih dapat mengangkat kitab Al-Qur’an meski harus disandarkan di dada. Sugi memimpin doa untuk mengawali pembelajaran yang diikuti murid-muridnya. 

Pembelajaran pun dimulai. Ia menyimak santrinya membaca Al-Qur’an secara bergantian. Jika ada bacaan yang salah, tugasnya adalah membetulkannya.  

Sugi juga telaten menuntun siswa belia yang baru belajar mengeja lafal Arab. Aktivitas pembelajaran itu dimulai pukul 15:00 WIB hingga 18:00 WIB setiap harinya.

Tujuh belas tahun sudah, Sugi istiqamah mengajar pendidikan agama untuk anak-anak di desanya dengan cara berbaring karena lumpuh. Untuk sekadar duduk pun ia tak mampu. 

Sugi menyadari sebagian besar fisiknya telah mati rasa. Namun ia bersyukur, masih ada organ yang berfungsi dan bisa ia pakai untuk memberi manfaat bagi orang lain. 

“Tidak ada alasan untuk tidak berbuat baik, dalam kondisi apapun. Jika saya tidak berbuat apa-apa, hidup saya hanya sia-sia menunggu kematian,” katanya penuh harap.

Bagi Sugi, pendidikan agama penting bagi anak-anak untuk menanamkan akhlak serta menjauhkan mereka dari pergaulan bebas. 

Ia pun tidak memungut sepeserpun kepada orangtua siswa untuk pendidikan anak mereka. Sugi ikhlas tak dibayar meski hidupnya penuh dengan kekurangan.  

Mengajar dengan kondisi demikian tentu bukan hal mudah. Sugi mengajar sambil sesekali meringis menahan sakit. 

Sugi telah pasrah dengan kondisi kesehatannya. Yang ia harapkan, ia bisa tetap istiqamah mengajar hingga akhir hayatnya. 

“Harapan saya cuma istiqamah. Saya akan terus mengajar hingga Allah memanggil saya,” ucapnya.

Berawal dari kecelakaan

Sugiarto mengajar sambil berbaring karena tubuhnya tak kuasa gerak. Foto oleh Irma Muflikah/Rappler

Sugiarto mulai mengajar sejak sebelum lumpuh, sekitar 20 tahun silam. Ia adalah jebolan sebuah Pondok Pesantren ternama di Banyumas. 

Suatu ketika, peristiwa naas menimpanya. Ia tertabrak bus antarprovinsi di jalan raya saat selesai mengajar mengaji siswanya. 

Sugi sempat dirawat 40 hari di sejumlah rumah sakit untuk kesembuhan lukanya. Selama dirawat di rumah sakit, pendidikan Al-Qur’an di rumahnya sementara terhenti. Anak-anak didiknya menanti cemas di rumah sambil menunggu sang ustadz pulang dan kembali mengajar. 

Setelah 40 hari dirawat dan tak kunjung membaik, Sugi memutuskan pulang. Apalagi, dokter telah memvonisnya lumpuh total. 

Sekembalinya dari rumah sakit, Sugi kembali membuka kelas. Namun keadaannya kini berubah. Ia terpaksa memindahkan kelas pembelajaran di dalam kamar lantaran tubuhnya tak bisa bergerak. Ia harus mengajar sambil berbaring.

“Selama dirawat di rumah sakit saya kepikiran murid-murid saya, mereka tidak ada yang mengajar, akhirnya saya pulang,” akunya.

Tasem, ibunda Sugiarto, adalah perempuan yang setia mendampingi dan merawat anaknya. Tiga hari sekali, ia mengganti perban untuk menutupi luka pada kaki Sugi yang membusuk. 

Air mata Tasem mengalir saat menceritakan keadaannya anaknya yang memprihatinkan. Sejak menderita lumpuh 17 tahun lalu, kondisi kesehatan Sugi terus menurun. Tubuhnya kurus kerontang dan sering sakit-sakitan. Kakinya yang telah mati rasa justru timbul luka yang membau. 

Selain merawat luka, beberapa hari sekali, Sugi dibantu warga sekitar mengangkat tubuh Sugi yang bergeser dari posisinya semula. 

Tasem berkeinginan untuk memeriksakan anaknya kembali ke rumah sakit. Selalu ada asa untuk kesembuhan anaknya. Namun ketiadaan biaya memaksanya pasrah. Ia juga tidak memiliki jaminan kesehatan dari pemerintah meski tergolong warga miskin. 

“Inginnya ganti perban setiap hari. Tapi karena kurang biaya, saya beli perban di apotek dan menggantinya tiga hari sekali,” kata Tasem.

Di sisi lain, Tasem terenyuh melihat keteguhan hati putranya yang istiqamah mengajar meski dalam kondisi lumpuh. 

Sebagaimana harapan putranya yang ingin istiqamah mengajar, ia pun berharap diberi kekuatan agar bisa istiqamah merawat anaknya, hingga akhir hayat. 

Jolastri, wali siswa Fahru Nurudin (9 tahun), punya alasan tersendiri untuk memercayakan pendidikan putranya kepada Sugiarto. 

Sugi diakuinya sebagai guru yang alim dan menguasai pengetahuan agama. Lebih dari itu, ia adalah seorang yang ikhlas mendedikasikan waktunya untuk mengajar tanpa memungut bayaran. 

Jolastri, ibu Fahru, juga membawakan makanan untuk sang guru. Berkat jasa sang ustad, kata Jolastri, anaknya yang telah tiga tahun berguru pada Sugi kini sudah lancar membaca Al-Qur’an. 

Karakter Fahru juga terjaga karena sering mendapat nasihat positif dari sang guru. 

“Kami sebenarnya kasihan melihat kondisi ustad. Dia ikhlas mengajar meski kondisinya sakit,” kata Jolastri.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!