Aliansi masyarakat adat kritik belum jelasnya status kawasan hutan

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Aliansi masyarakat adat kritik belum jelasnya status kawasan hutan

AFP

Menteri LHK menyebutkan, korporasi menguasai 30 persen luasan hutan

JAKARTA, Indonesia – Sudah dua tahun ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berencana melaksanakan Putusah Mahkamah Konstitusi No 35/2012 tetapi belum satupun hutan adat yang ditetapkan lewat Surat Keputusan Menteri LHK.

“Pokja-pokja Perhutanan Sosial di daerah baru dibentuk dan belum bekerja.  Tim penanganan kasus-kasus LHK yang pernah dibentuk Menteri melibatkan CSO juga macet, tidak pernah bertemu lagi melaksanakan tugasnya,” ujar Abdon Nababan, kepada Rappler, Senin 5 Desember. 

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini menanggapi  pernyataan Menteri Siti Nurbaya Bakar akhir pekan lalu bahwa pengelolaan sumberdaya alam (SDA) di era Pemerintahan Jokowi-JK berpihak kepada rakyat.

Putusan MK diatas menyatakan bahwa puluhan juta hektar lahan hutan adat yang selama ini diklaim sebagai milik negara dinyatakan bukan milik negara lagi dan bisa dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat adat. Selain menyampaikan komitmen pemerintahan Jokowi-JK, Menteri Siti Nurbaya juga memaparkan data pengelolaan hutan.

“Dari luasan hutan mencapai 120 juta hektare, alokasi seluas 34 juta hektare atau sekitar 30 persennya telah diberikan izin kelolanya kepada korporat. Idealnya negara hadir dengan BUMN-nya mengelola sekitar 30 persen juga, kemudian 40 persennya lagi diberikan hak kelolanya kepada masyarakat, ini untuk mewujudkan keadilan yang proposional,” ujar Siti sebagaimana dikutip dari media

Fakta yang membuat miris adalah, dari 34 juta hektare lahan yang dikelola oleh korporat itu hanya dipunyai oleh 25 orang konglomerat saja. Sementara rakyat yang jumlahnya sekitar 250 juta orang saat ini menguasai lahan masih dibawah 1 juta hektare.

Jika merujuk kepada pasal 33 UUD 45 yang mengamanatkan kekayaan alam Indonesia dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat, fakta penguasaan lahan hutan sebagai SDA ini menyedihkan. Ironis.

“Oleh karena itu Presiden Jokowi ingin menghadirkan negara dalam politik SDA dengan cara negara campur tangan dalam persoalan politik ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Salah satunya adalah bagaimana menekankan pengendalian SDA di bawah pengawasan negara,” kata Siti.

Dia mengakui tantangan mewujudkan niat itu tidak ringan.  Selain pengembangan sumberdaya manusia, diperlukan pendanaan.

“Dalam kurun 2015 – 2019, pemerintah berkomitmen untuk mengalokasikan Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta hektare kepada rakyat. Ini adalah koreksi kebijakan mendasar dalam upaya pemerintah mensejahterakan rakyat Indonesia. Langkah ini menjadi upaya penting dalam membangkitkan Indonesia, dalam mewujudkan Indonesia yang berdaya saing dan berkekuatan di atas kaki sendiri dalam bidang ekonomi,” ujar Siti.

Mengutip arahan Presiden, Siti menjelaskan bahwa karena hutan untuk kesejahteraan rakyat, maka hak-hak masyarakat atas tanah dapat diakomodir pada pemanfaatan ruang kawasan hutan, yang diarahkan pada kawasan untuk pengusaha hutan skala kecil dan kawasan hutan untuk non kehutanan.

Kawasan untuk pengusaha hutan skala kecil (masyarakat) melalui skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyakaratan (HKm) dan Hutan Desa. Sedangkan kawasan untuk non kehutanan disiapkan untuk Hutan Rakyat Kemitraan dan untuk memenuhi kebutuhan sektor nonkehutanan melalui prosedur perundangan yang berlaku.

Upaya memberdayakan masyarakat khususnya yang hidup di dalam dan di sekitar hutan dilakukan dengan membuka akses legal melalui pemberian izin pemanfaatan kawasan hutan atau izin pemanfaatan hasil hutan kayu atau bukan kayu, serta izin pemanfaatan jasa lingkungan hidup (ekowisata, keanekaragaman hayati, penyerapan atau penyimpanan karbon).

“Kegiataannya dapat diusahakan untuk kegiatan ekonomi dengan tetap menjaga kelestariannya,” katanya.

Pemberdayaan ekonomi rakyat pedesaan di sekitar hutan ini dilakukan melalui berbagai pendekatan, antara lain melalui kebijakan distribusi akses pengelolaan atau pemanfaatan hutan. Diantaranya HTR ditujukan untuk masyarakat yang sudah siap berwirausaha; HKm ditujukan untuk masyarakat yang belum berdaya dari sisi lahan maupun modal dan kemampuan wirausahanya masih perlu ditingkatkan; Hutan Desa ditujukan untuk mendukung pembangunan desa sekitar hutan secara mandiri; Kemitraan antara pengusaha besar pemegang izin usaha dengan masyarakat sekitar hutan.

Izin HKm dan Hutan Desa dapat diberikan di Hutan Produksi dan Hutan Lindung dengan jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang, sedangkan izin HTR di Hutan Produksi dengan jangka waktu 60 tahun dan dapat diperpanjang.

Untuk menstimulasi keberdayaan masyarakat sekitar hutan, disamping dengan pemberian akses terhadap lahan hutan juga ditunjang dengan dana pinjaman bergulir dimana setiap kelompok masyarakat diberi akses untuk mendapat pinjaman dengan bunga rendah.

Terkait amanat Undang-undang bahwa hutan dijaga kelestariannya untuk kesejahteraan masyarakat, Kementerian LHK terus mengupayakan untuk menyelesaikan hak-hak tenurial yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012.

“Kita harus bisa menyelesaikan hutan adat yang menjadi hak masyarakat adat untuk dikeluarkan dari kawasan hutan. Untuk itu saya telah membentuk Tim Pengaduan Kerusakan Lingkungan Hidup dimana anggota panelnya antara lain HuMa, WALHI, AMAN, Sajogyo Institute, Ecosoc, Epistema, dan Greenpeace Indonesia,” ungkap Menteri Siti.

Dengan adanya “alamat” pengaduan, dia berharap proses pengakuannya melalui verifikasi dan validasi dapat dipercepat sebagai bagian dari upaya mewujudkan pengelolaan hutan lestari dan masyarakat sejahtera.

Menanggapi  hal tersebut, Abdon Nababan mengatakan bahwa tindaklanjut dari visi Presiden dan pernyataan Menteri sangat lambat.  “Arah kebijakan sudah benar, implementasi lambat,” kata Abdon.

BACA : Informasi Pengelolaan Hutan Diminta Dibuka  

Salah satu sumber kelambatan implementasi bersumber dari ketidakjelasan status kawasan hutan yang akan dialokasikan untuk perhutanan sosial, hutan adat dan juga TORA (Tanah Obyek Reforma Agraria).  Begitu juga dengan belum disahkannya PIAPS (Peta Indikatif Alokasi Perhutanan Sosial dan Hutan Adat).  “Peta Indikatif kawasan hutan TORA juga belum ada,” tambah Abdon – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!