Empat hal mengenai Salman Abedi Ramadan, pelaku bom bunuh diri di Manchester

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Empat hal mengenai Salman Abedi Ramadan, pelaku bom bunuh diri di Manchester

AFP

Polisi tengah menyelidiki apakah Ramadan beraksi seorang diri atau dibantu jaringan lainnya.

JAKARTA, Indonesia – Kepolisian Inggris akhirnya menyebut Salman Abedi Ramadan, seorang pria keturunan Libya sebagai pelaku bom bunuh diri di Manchester Arena pada Senin, 22 Mei waktu setempat. Kini polisi tengah melakukan penelusuran terhadap keluarga Abedi yang diketahui masih kerap bolak-balik Manchester-Tripoli.

Teori sementara yang dipegang oleh polisi, Abedi didoktrin menjadi radikal belum lama. Kelompok teroris Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) sudah bersorak-sorai dan mengklaim menjadi dalang dari peristiwa ledakan bom di lokasi konser bintang pop Ariana Grande. Akibat peristiwa itu, sebanyak 22 orang tewas terbunuh termasuk balita berusia 2 tahun. Sementara, 59 orang lainnya mengalami luka.

Siapa Ramadan dan bagaimana kehidupannya sehari-hari di Manchester? Berikut empat hal mengenai Ramadan yang perlu kamu tahu:

1. Lahir di Inggris

Berdasarkan keterangan dari Perdana Menteri Theresa May, Ramadan dilahirkan di Inggris namun, merupakan keturunan Libya pada 31 Desember 1994. Dia merupakan anak ketiga dari empat bersaudara.

Sang Ibu, Samia Tabbal dan ayahnya, Ramadan Abedi lahir di Tripoli, Libya, lalu kemudian bermigrasi ke London. Ayah Ramadan yang bekerja sebagai seorang petugas keamanan kemudian mengajak keluarganya tinggal di bagian selatan Manchester. Di sana di tinggal selama 10 tahun.

Ramadan sempat disekolahkan ke sekolah lokal. Lalu dia melanjutkan pendidikan ke Universitas Salford di tahun 2014. Dia sempat mendaftar untuk tahun kedua kuliahnya, tetapi tidak pernah mengikuti kelas. Ramadan diketahui juga tidak aktif dalam kegiatan di sekolah. Tak berapa lama dia memutuskan keluar dari kampus.

2. Jarang bertemu ayahnya

Masyarakat di area Manchester diketahui didominasi imigran asal Libya. Menurut pengakuan beberapa tetangga, Ramadan sudah beberapa tahun tidak bertemu dengan sang ayah, Abedi. Ayah Raman diketahui kembali ke Libya ketika terjadi revolusi di tahun 2011 lalu. Sementara, ibunya tetap tinggal di Inggris untuk menjaga anak-anak mereka.

Kemudian, mulai terlihat perubahan di diri Ramadan. Dia menjadi lebih Islami, rajin salat, memanjangkan jenggot dan mengenakan baju panjang.

Perubahan sikap ini sempat disampaikan oleh salah satu tetangga, Lina Ahmed. Beberapa bulan lalu, Ramadan mengucapkan ayat-ayat Al-Quran yang digunakan ketika salat sangat keras di jalan.

“Dia mengatakan:’hanya ada satu Tuhan dan Nabi Muhammad adalah pembawa pesannya,’” ujar Ahmed kepada harian Telegraph.

Sementara, tetangga lainnya yang tinggal di seberang rumah keluarga Ramadan, Alan Kinsey mengatakan sebuah bendera besar pernah dipajang di jendela rumah tersebut. Menurut Kinsey, itu merupakan bendera Irak.

“Kami semula berpikir bendera itu dipajang karena menyangkut sepak bola atau tengah memprotes sesuatu. Kami tidak pernah berpikir hal-hal yang lain,” kata Kinsey.

3. Baru kembali dari Libya

Menurut laporan harian The Times, sebelum melakukan aksi bunuh diri, Ramadan diyakini baru kembali dari Libya. Tidak diketahui dengan jelas apa yang dilakukan Ramadan di sana. Tetapi, penyidik tengah mencari bukti jika Ramadan melakukan kontak dengan kelompok militan di sana.

Salah satu anggota komunitas Libya di Manchester mengenal Ramadan sebagai sosok yang sangat pendiam, sangat berbeda dari kakaknya, Ismail yang hangat dan terbuka kepada orang asing. Anggota komunitas itu meyakini Ramadan dipengaruhi oleh seseorang sehingga bersedia menjadi pelaku bom bunuh diri. Dia mengaku tidak yakin Ramadan didoktrin menjadi radikal di Tripoli.

“Itu pasti terjadi di sini. Apa yang sudah dia lakukan dengan membunuh semua orang itu. Pasti ada yang mempengaruhi. Ini betul-betul menyedihkan,” ujar anggota masyarakat itu.

4. Wajah penuh kebencian

Ramadan dan sang kakak diketahui kerap menunaikan ibadah di Masjid Didsbury. Sang ayah, Ramedi bukan merupakan orang yang asing di sana.

“Dia kerap menjadi orang yang menyuarakan adzan, karena memiliki suara yang begitu indah,” kata salah satu anggota komunitas Libya di Manchester seperti dikutip harian The Guardian.

Tetapi, tidak semua memandang keluarga Ramadan secara positif. Salah seorang sosok senior di Masjid Didsbury dan Pusat Islam bernama Mohammed Saeed pernah mendapat tatapan penuh kebencian dari Ramadan. Hal itu terjadi usai dia memberikan ceramah yang mengkritik keberadaan ISIS dan Ansar al-Sharia di Libya.

“Dia menunjukan kepada saya wajah penuh benci usai ceramah saya mengenai ISIS. Dia juga sudah pernah menunjukkan wajah dengan mimik muka serupa dan saya tahu orang ini tidak menyukai saya. Jadi, itu bukan merupakan sesuatu yang mengejutkan,” kata Saeed.

Secara keseluruhan, Masjid Didsbury tergolong tempat yang moderat karena mereka menyambut baik umat Muslim yang datang dari berbagai negara termasuk Arab Saudi, Asia, Eropa dan Afrika.

Sementara, proses penyelidikan saat ini juga tengah fokus untuk mencari tahu apakah Ramadan bekerja seorang diri atau ada jaringan lain yang membantunya melakukan aksi bom bunuh diri. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!