Kisah bayi Debora yang ditolak dirawat di rumah sakit karena tak punya biaya

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisah bayi Debora yang ditolak dirawat di rumah sakit karena tak punya biaya
Namun, pihak rumah sakit membantah telah menelantarkan bayi Debora karena masalah biaya

JAKARTA, Indonesia – Kisah warga tak mampu yang sulit memperoleh fasilitas memadai kembali terjadi. Henny Silalahi kehilangan bayinya Tiara Debora yang baru berusia 4 bulan karena tidak diberi fasilitas memadai oleh pihak rumah sakit pada Minggu dini hari, 3 September sekitar pukul 09:30 WIB.

Kisah bayi Debora ini ditulis di media sosial oleh Birgaldo Sinaga pada Jumat, 8 September. Birgaldo mengaku bertemu langsung dengan Henny dan memiliki bukti bahwa kisah yang dialami keluarga itu benar adanya.

Berikut rekaman video yang diklaim Birgaldo sebagai kesaksian Henny: 

Debora dilarikan ke rumah sakit karena tiba-tiba mengalami sesak nafas. Ia juga batuk-batuk yang mengandung dahak. Khawatir terjadi sesuatu, Henny membangunkan suaminya dan meminta agar diantar ke rumah sakit.

Dengan membonceng rumah sakit, Henny dan Debora menembus udara dingin ibukota menuju ke Rumah Sakit Mitra Kalideres. Wajah bayi Debora terlihat semakin pucat, sehingga Henny meminta suaminya agar segera tancap gas.

Sekitar pukul 03:40 WIB, Henny dan suami tiba di rumah sakit. Mereka pun meminta kepada petugas medis agar segera diberikan pertolongan.

“Tindakan pertolongan pertama diberikan. Bayi Debora sempat dicek suhu tubuhnya. Lalu, diberikan penguapan untuk mengencerkan dahaknya,” tulis Birgaldo.

Sambil dilakukan pemeriksaan, ayah Debora, Rudianto diminta untuk mengurus administrasi pasien. Usai dilakukan pemeriksaan awal, dokter mengatakan Debora harus segera dibawa ke ruang PICU. Apalagi kondisinya semakin memburuk.

Rudianto dan Henny pun mengangguk cemas. Dokter kemudian menyarankan segera mengurus ke bagian administrasi.

Betapa terkejutnya Rudianto ketika disodorkan formulir yang berisi uang muka yang harus dibayar sebesar Rp 19,8 juta.

“Maaf, Pak. Bapak harus membayar uang muka sebesar Rp 19,8 juta agar anak Bapak bisa masuk PICU,” ujar seorang petugas administrasi bernama Ifa.

Rudianto kemudian mengatakan kepada petugas administrasi bahwa mereka memiliki fasilitas kartu BPJS.

“Tolong lah masukkan ke PICU dulu. Selamatkan anak kami,” kata Rudianto.

Namun, petugas administrasi menolak kartu BPJS yang ditawarkan Rudianto dengan alasan pihak rumah sakit belum memiliki fasilitas kerja sama dengan BPJS.

“Mohon selesaikan dulu uang muka agar anak bapak segera dimasukan ke ruang PICU,” ujar petugas administrasi lainnya yang bernama Tina.

Henny kemudian meminta suaminya untuk segera bergegas ke rumah dan mengambil uang yang mereka miliki. Sayangnya, setelah mengambil uang dari mesin ATM, mereka hanya memiliki uang Rp 5 juta. Rudianto ingin meminjam uang kepada tetangga dan keluarga, namun saat itu belum ada yang bangun.

“Tapi, maaf Pak. (Uang) ini masih kurang dari uang muka PICU,” kata Tina lagi.

Rudianto kembali memohon rasa kemanusiaan si petugas administrasi. Ia berjanji akan mencari sisa kekurangan biayanya kepada pihak lain.

Tina kemudian menghubungi atasannya dan sayangnya permohonan Rudianto juga ditolak.

“Maaf, Pak atasan saya tidak memberi izin bagi anak bapak untuk dimasukkan ke ruang PICU sebelum bapak menyelesaikan uang muka. Ini saya kembalikan uang lima jutanya,” kata Tina.

Rudianto dan Henny pun bingung melihat respons pihak rumah sakit. Alhasil, Henny meminta bantuan dari para koleganya. Ada beberapa teman yang merespons dan mengatakan ada ruang PICU di RS Koja. Sayangnya, sebelum Debora dirujuk ke RS Koja, kondisinya semakin parah dan menghembuskan nafas terakhir.

Situasi itu membuat Henny semakin terpukul. Apalagi itu merupakan anak kedua mereka yang meninggal.

Klarifikasi rumah sakit

Kisah yang ditulis Birgaldo itu akhirnya viral dan menjadi pembicaraan publik. Lebih dari 20 ribu orang membagikan ulang kisah bayi Debora yang meninggal akibat tidak mendapat perawatan memadai dari pihak rumah sakit.

RS Mitra Keluarga akhirnya memberikan klarifikasinya melalui keterangan tertulis. Perwakilan rumah sakit mengatakan Debora tiba di sana dalam keadaan sudah tak sadarkan diri dan tubuh tampak membiru. Pasien, kata rumah sakit, memiliki riwayat lahir prematur, penyakit jantung bawaan (PDA) dan gizi kurang baik.

“Dalam pemeriksaan didapatkan nafas berat dan dalam, dahak banyak, saturasi oksigen sangat rendah, nadi 60 kali per menit dan suhu badan 39 derajat celcius,” kata pihak manajemen rumah sakit.

Mereka membantah membiarkan kondisi Debora memburuk. Bahkan, sudah dilakukan penyelamatan nyawa berupa penyedotan lendir, pemasangan selang ke lambung dan intubasi, lalu dilakukan bagging (pemompaan oksigen dengan menggunakan tangan melalui selang nafas), infus, obat suntikan dan pengencer dahak.

“Pemeriksaan laboratorium dan radiologi segera dilakukan,” kata mereka.

Kondisi Debora sempat sedikit membaik, walaupun kondisinya masih sangat kritis. Dokter kemudian menyarankan penanganan selanjutnya di ruang khusus ICU.

Tetapi, Ibu pasien menyatakan keberatan dengan biaya rawat inap, karena kondisi keuangan.

“Ibu pasien mengaku memiliki kartu BPJS, maka dokter menawarkan kepada ibu pasien untuk dibantu merujuk ke rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS, demi memandang efisiensi dan efektivitas biaya perawatan pasien. Ibu pasien menyetujui,” kata mereka.

Kendati RS Mitra Keluarga tidak menjelaskan alasan mereka merujuk Debora ke tempat lain, namun mengindikasikan jika rumah sakit tidak memiliki kerja sama dengan BPJS.

Sayangnya, sekitar pukul 09:15 WIB, perawat mengabarkan jika kondisi Debora memburuk dan akhirnya meninggal dunia.

“Setelah melakukan resusitasi jantung paru selama 20 menit, segala upaya yang dilakukan tidak dapat menyelamatkan nyawa pasien,” kata mereka.

Pihak RS Mitra Keluarga Kalideres mengimbau agar masyarakat tidak mudah menelan informasi tanpa memahami duduk persoalannya.

Namun, pada dasarnya menolak pasien karena tidak memiliki biaya, bertentangan dengan UU Kesehatan nomor 36 tahun 2009 pasal 32 ayat 1. Di dalam UU itu tertulis bahwa setiap pasien yang berada dalam kondisi darurat, harus ditangani terlebih dahulu untuk mencegah kondisi semakin kritis.

“Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu,” demikian bunyi pasal tersebut.

Jika sudah begini, siapa yang patut bertanggung jawab? – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!