Latin America

Mengintip Toko Roti tertua Go, bertahan sejak 1898

Irma Mufilikhah

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengintip Toko Roti tertua Go, bertahan sejak 1898
Mewarisi resep berusia ratusan tahun, usaha milik keluarga ini telah melewati fase kolonial yang diwarnai konflik dan peperangan

BANYUMAS, Indonesia —Toko roti itu berdiri di Jalan Jenderal Soedirman Nomor 724 Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah. Gedungnya terlihat sederhana, kalah wah dari toko-toko roti modern yang juga berdiri di kota tersebut.  

Meski begitu, toko roti berlabel Go ini tetap mampu memikat pembeli. Banyak pelanggan yang datang ke sana setiap hari. Sebab roti yang yang dijual di sini bebas dari sentuhan zat kimia, baik pengembang, pengawet atau pemanis.   

Selain itu, keistimewaan lain toko ini adalah banyaknya varian roti tradisional yang disajikan, mulai roti manis, roti sobek, hingga pastry. Semuanya selalu disajikan dalam kondisi segar. 

Pasangan suami istri pemilik toko roti ini, yakni FX Pararto Widjaja dan Rosani Wiogo, mengatakan resep roti tradisional mereka merupakan warisan nenek moyang yang masih dipertahankan selama ratusan tahun.

Toko klasik ini memang sudah berdiri sejak 1898 atau jauh sebelum Indonesia merdeka. Tak mengherankan jika toko ini disebut sebagai toko roti tertua di Indonesia yang masih bertahan hingga sekarang. 

Pada 1898  itulah, seorang perempuan Tionghoa The Pake Nio bersama suaminya Go Kwee Ka memulai membuka usaha toko roti yang diproduksi sendiri. “Nama toko Go diambil dari marga pendiri laki-laki Go,” kata Rosani Wiogo saat ditemui di tokonya, Purwokerto Banyumas. 

Rosani Wiogo adalah generasi ketiga yang meneruskan usaha toko roti leluhurnya. Ia bersama suaminya melanjutkan usaha warisan itu sejak 2004 usai orang tuanya meninggal. 

Mempertahankan usaha turun temurun hingga lebih dari seabad tentu tidak mudah. Apalagi usaha milik keluarga ini harus melewati fase kolonial yang diwarnai konflik dan peperangan. 

Toko ini pun pernah jadi korban keganasan perang di masa penjajahan. Rosani mengungkapkan, semasa agresi militer II  tahun 1948, toko tersebut pernah dibakar hingga luluh lantak bersama dengan penghancuran sejumlah bangunan di Purwokerto. Pemilik dan seluruh pekerja lari untuk menyelamatkan diri. 

Nyaris seisi toko musnah, hanya menyisakan oven dan alat peracik roti berbahan besi yang kebal dari api. “Pernah dibakar, namun tidak ada korban jiwa karena seluruh pekerja sudah lari lebih dulu,” katanya.

Meski sempat hancur, pemilik dan para pekerja  tetap solid, toko roti Go kembali bangkit. Roti Go sempat mencapai kejayaannya di masa lampau, saat toko roti yang tumbuh belakangan masih jarang. 

Namun roda zaman terus bergerak. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan memengaruhi perubahan pola industri roti.  Kebutuhan masyarakat modern menuntut apapun serba instan, termasuk makanan.

Toko-toko roti modern pun mulai bermunculan dengan menawarkan ragam varian yang menggoda dan tentunya dengan harga lebih murah. 

Karena banyak saingan, omset toko roti Go ikut berkurang. Pemilik toko roti Go bisa saja memodernisasi pengolahan rotinya mengikuti tren pasar. Namun pemilik rupanya enggan latah. Pemilik ingin tetap melestarikan resep leluhur, apapun konsekuensinya. 

“Pesan dari orang tua, roti ini agar dilestarikan, toko harus dipertahankan,” katanya.

Mengandalkan oven usia ratusan tahun

Seorang pekerja mengambil roti yang telah masak usai dipanggang di oven kuno berusia ratusan tahun. Foto oleh Irma Muflikah/Rappler

Rappler berkesempatan menengok dapur pembuatan roti yang terletak di belakang toko Roti Go. Sebuah mesin oven kuno yang berusia ratusan tahun jadi mesin utama pembuatan roti. 

Oven legendaris itu dibangun dengan batu bata tahan api. Tidak ada yang berubah dari bangunan itu sejak pertama kali dibuat ratusan tahun lalu. Hanya beberapa kali pemilik menambal bagian dinding yang retak termakan usia. 

Pemanasan oven klasik itu tentu saja masih menggunakan kayu bakar. Pemanggangan dengan cara itu memengaruhi cita rasa roti yang kuat dengan aroma panggang alami.

Roti yang telah masak di dalam oven diambil menggunakan galah bambu yang dimodifikasi. Tidak ada petunjuk suhu atau termometer pada alat itu layaknya oven modern. Namun insting para pekerja sudah kuat dalam mengetahui suhu yang pas untuk memanggang roti. 

“Pekerja sudah paham. Alat pengukur suhunya ya tangan mereka sendiri, dimasukkan sebentar ke mulut oven, untuk mengetahui panasnya sudah pas atau belum. Namanya juga mesin tradisional,” katanya.

Selain cara pengolahan, bahan yang dipakai pun tradisional. Pemilik masih menggunakan bibit roti (biang) keluarga yang diwariskan secara turun temurun selama ratusan tahun. 

Mereka tidak menggunakan bahan pengembang, pengawet, pemanis atau bahan kimia lain yang biasa dipakai untuk membuat roti.  

Karena tak memakai pengawet, roti tradisional ini hanya mampu bertahan sekitar 3 hari. Jika sisa lebih dari masa itu, roti pasti dibuang. Karena itu, Rosani mengaku selalu memperhitungkan betul kapasitas produksi, jangan sampai sisa tak terjual. Roti yang tak terjual adalah kerugian, karena tak bisa dijual lagi esok hari. Alhasil, Roti yang dijual di toko ini selalu dalam kondisi segar dan terbatas.  

Masa bertahan roti yang singkat membuat roti Go susah berekspansi. Rosani mengaku pernah ditawari untuk menyuplai produknya ke supermarket. Namun, ia tarik kembali karena banyak barang yang tak laku lebih dari tiga hari. 

“Dari pihak supermarket tidak boleh ditarik menunggu seminggu dulu. Tapi saya paksa tarik karena masa tahannya cuma tiga hari. Akhirnya saya gak suplai lagi karena malah rugi,” katanya.

Rosani tak khawatir usahanya bangkrut karena memaksa mempertahankan tradisionalitas. Prinsip dia, masyarakat modern tetap harus diberi alternatif untuk mendapatkan makanan sesuai pilihan masing-masing. Kehadiran toko roti Go memberikan pilihan bagi sebagian pelanggan yang masih menghargai aspek mutu dan kesehatan. 

“Tetap kami yakin roti tradisional ada pasarnya sendiri. Minimal masyarakat punya pilihan ketika ingin membeli roti. Jika kami tidak hadir, mereka dapat darimana kalau ingin roti tradisional,” katanya.

Pekerja turun temurun

Pelanggan memilih ragam roti tradisional yang di etalase toko. Foto oleh Irma Muflikah/Rappler

Pararto Widjaja membeberkan rahasia toko Roti Go bisa bertahan hingga ratusan tahun. Selain mutu produk yang terjaga, toko ini dikelola bersama para pekerja dengan prinsip kekeluargaan. 

Prinsip itu, kata Pararto, dipegang untuk memberikan kenyamanan bagi para pekerja sehingga kepercayaan antara pemilik dan pekerja saling terbangun. 

Buktinya, bukan hanya pemilik roti yang meneruskan usaha leluhur, sebagian besar pekerja di pabrik roti ini secara turun menurun melanjutkan profesi orang tua atau kakek yang dulu bekerja di toko itu.

“Kalau pendekatannya seperti lazimnya perusahaan, ada sedikit kesalahan pekerja bisa langsung dipecat. Kalau di sini gak, karena sudah seperti keluarga sendiri tetap gak tega mengeluarkan pekerja,” katanya.

Toko roti Go pun masih menampung para pekerja tua meski produktivitasnya sudah menurun. Dari belasan pekerja di tempat itu, beberapa di antaranya berusia di atas 60 tahun dan 70 tahun. 

Bahkan dalam satu tempat, orang tua dan anak bisa berbagi tugas bekerja di toko tersebut. Pekerja wanita biasaya bekerja di bagian depan melayani pembeli. Sementara pekerja pria bekerja di dapur untuk memproduksi roti yang dimulai waktu pagi hingga siang hari. 

Surip (60), satu di antara pekerja di dapur roti itu, mengatakan dirinya meneruskan pekerjaan ayahnya yang dulu bekerja di toko tersebut saat masih dikelola orang tua Rosani. 

“Saya dari kecil bantu-bantu orang tua saya yang dulu kerja di sini. Setelah dewasa, gantian saya bekerja di sini,” katanya.

Pilihan Surip untuk bekerja di toko roti itu bukan hanya alasan ekonomis. Kenyamanan dalam bekerja jadi faktor penentu kebetahannya bekerja di tempat itu. 

Sebagai pekerja, hubungannya dengan pemilik tidak pernah bermasalah. Ia bahkan merasa telah dianggap sebagai keluarga sendiri oleh pemilik. “Senang bekerja di sini karena dianggap keluarga sendiri,” katanya.

Toko Roti Go buka mulai pukul 08:00 WIB sampai 20:30 WIB. Uniknya, setelah toko ini tutup, roti-roti yang belum terjual dijajakan kembali oleh seorang pedagang tua yang menjajakannya dengan gerobak kuno. 

Gerobak roti itu mangkal di depan toko sejak toko tutup hingga toko itu dibuka kembali pada keesokan harinya. Gerobak roti ini melayani pelanggan yang memburu roti segar di waktu malam. Sebagian pelanggan adalah penumpang kereta yang turun malam dan ingin mengisi perut saat banyak warung tutup. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!