Menag Lukman: Two states solution adalah jalan keluar moderat bagi Israel-Palestina

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menag Lukman: Two states solution adalah jalan keluar moderat bagi Israel-Palestina
"Kami ingin menatap ke depan. Bagaimana caranya? Ya, harus ditempuh dengan mengakui keberadaan keduanya (negara Israel dan Palestina)," ujar Lukman

JAKARTA, Indonesia – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan di era globalisasi seperti saat ini, dibutuhkan pendekatan yang beradab dan tidak menggunakan fisik dalam menyelesaikan berbagai konflik, termasuk konflik antara Israel dengan Palestina. Menurut Lukman, ‘two states solution’ (solusi dua negara) merupakan cara yang paling moderat dan win-win bagi kedua pihak.

‘Two states solutions’ adalah salah satu opsi dari konflik Israel-Palestina. Hal itu tertuang di dalam resolusi PBB 194, di mana Israel dan Palestina masing-masing menjadi negara dan hidup berdampingan dengan batas negara yang diakui. Batas negara yang diklaim oleh Palestina yakni sebelum peperangan tahun 1967 lalu, yakni Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

Namun, hal itu ditentang oleh Israel. Karena mereka juga menginginkan area di seluruh perbatasan Tepi Barat hingga ke arah Timur, yang artinya juga mencaplok wilayah Yerusalem. Maka, hal inilah yang menjadi perdebatan selama puluhan tahun. Bahkan, kedua pemimpin sudah tidak lagi duduk di meja perundingan sejak tahun 2014.

“Tetapi, menurut saya dan Pemerintah Indonesia itu satu-satunya solusi yang moderat. Sayangnya, belum semua negara memiliki pemahaman yang sama,” ujar Lukman dalam diskusi di Jakarta berjudul ‘Indonesia Bersama Palestina’ pada Jumat, 15 Desember.

Lukman mengakui memang masih ada negara yang menganggap Israel tidak berhak menjadi sebuah negara. Tetapi, menurutnya perdebatan itu sudah tidak diperlukan lagi. Masyarakat internasional tidak boleh tersandera oleh materi perdebatan yang sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu.

“Kami ingin menatap ke depan. Bagaimana caranya? Ya, harus ditempuh dengan mengakui keberadaan keduanya (negara Israel dan Palestina),” tutur dia.

Lukman pun membantah bahwa Indonesia dan negara-negara Timur Tengah terlambat dalam mengakui Yerusalem Timur sebagai ibukota Palestina. Justru, kata dia, langkah Presiden Donald Trump yang mengakui Yerusalem secara keseluruhan sebagai ibukota Israel tidak diduga sebelumnya.

Lagipula, dalam resolusi PBB, ia menambahkan, Israel sudah harus hengkang dari wilayah Yerusalem timur. Area tersebut kemudian tidak boleh diklaim oleh negara mana pun.

“Jadi, apa yang dilakukan Indonesia dan negara Timur Tengah lainnya di KTT OKI tidak terlambat. Itulah sebabnya mengapa reaksi Indonesia sangat keras menghadapi peristiwa itu. Kami justru mempertanyakan mengapa AS yang memiliki fungsi untuk mendamaikan Israel-Palestina, malah secara tiba-tiba mengakui secara sepihak Yerusalem,” katanya menjelaskan.

Pengumuman yang dilakukan oleh Trump pada 7 Desember lalu sudah melukai perasaan warga Palestina dan memicu terjadinya kekerasan di kawasan Timur Tengah.

“Oleh sebab itu, Indonesia meminta agar Amerika Serikat menganulir keputusan tersebut,” tutur dia.

Boikot bukan solusi

Lalu, apa yang perlu dilakukan selanjutnya? Karena toh, Israel tidak mempedulikan sama sekali hasil KTT darurat OKI yang digelar pada Rabu, 13 Desember kemarin.

Dua hari yang lalu, KTT OKI memutuskan beberapa hal. Dua di antaranya yakni negara-negara anggota sepakat mengklaim Yerusalem timur sebagai ibukota Palestina. Kedua, mengakui Palestina sebagai negara yang berdaulat penuh.

Lukman mengatakan Indonesia kini terus bergerilya dengan upaya diplomasinya. Menurut dia, diplomasi harus terus dikedepankan sebagai manusia yang beradab. Jangan pernah, tutur dia, terpikir untuk melakukan adu fisik apalagi berperang.

“Itu merupakan cara-cara di zaman dahulu. Enam poin yang disampaikan oleh Pak Presiden itu merupakan langkah diplomasi,” katanya.

Untungnya, negara-negara anggota OKI bulat menyatakan jika pengumuman yang dilakukan oleh AS tidak bermakna apa-apa. Sementara, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah sempat melakukan pendekatan kepada Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini agar Benua Biru itu tidak mengikuti langkah Negeri Paman Sam. Sebab, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu terus mendorong agar lebih banyak lagi negara yang mengekor kebijakan AS.

Tetapi, pendekatan yang dilakukan Netanyahu tidak berakhir manis. Walau tidak semua negara anggota Uni Eropa mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, tetapi mereka sepakat untuk tetap mengedepankan solusi dua negara sebagai jalan perdamaian antara Israel dan Palestina.

Lukman juga tidak sepakat dengan seruan untuk melakukan boikot terhadap produk buatan AS. Menurut dia, secara resmi Indonesia belum ada di tahap itu.

“Secara sisi kemanusiaan, boikot justru menimbulkan kerugian bagi sesama umat manusia. Di era globalisasi seperti sekarang, pendekatan yang harus dikedepankan adalah kesepakatan win-win solution. Untuk apa sesama umat manusia berseteru hanya karena urusan politik atau agama. Itu semua seharusnya ditenggelamkan demi kepentingan kemanusiaan,” tutur dia. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!