Akademisi UGM: Konflik Palestina dan Israel bukan masalah umat Islam semata

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Akademisi UGM: Konflik Palestina dan Israel bukan masalah umat Islam semata
Pernyataan yang sama pernah disampaikan oleh mantan Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Fariz Mehdawi

YOGYAKARTA, Indonesia – Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Siti Mutiah mengingatkan kepada publik konflik Palestina dengan Israel bukan semata-mata menjadi kepedulian umat Islam. Padahal, pada kenyataannya Palestina tidak hanya dihuni oleh penduduknya yang beragama Islam saja. Di sana juga ada warga Kristen dan Yahudi.

Informasi ini, kata Siti, perlu digarisbawahi karena sebagian besar warga Indonesia memandang konflik kedua negara hanya didominasi umat Muslim.

“Ini tidak sesuai dengan kenyataan. Karena orang Arab Palestina juga banyak yang beragama Kristen. Tokoh PLO garis keras seperti George Habbas dan tokoh juru runding sejak Yaser Arafat di perungingan Oslo yakni Hanan Asrawi, itu Kristen,” ujar Siti ketika memberikan keterangan pers pada Kamis, 14 Desember di Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI).

Keluhan yang sama sempat disampaikan oleh mantan Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Fariz Mehdawi. Ia mempertanyakan mengapa di Indonesia hanya umat Muslim yang bereaksi? Karena warga Palestina juga membutuhkan dukungan dari kelompok non Muslim.

“Karena ini bukan sekedar konflik antara Islam dan Yahudi,” kata Siti mengutip kembali pesan Mehdawi yang kini bertugas di Tiongkok.

Konflik Israel dengan Palestina sangat kompleks. Selain terjadi sengketa wilayah, ada pula konflik antar etnis, Arab dengan Yahudi, serta konflik antar agama Islam dan Yahudi. Konflik itu melibatkan tiga sentimen berbeda damn mengikuti tindakan yang muncul dalam konflik tersebut.

Jika menyangkut batas teritorial maka yang terjadi adalah perebutan wilayah. Sementara, konflik agama salah satunya muncul dipicu ketika klaim agama dijadikan argumen oleh Israel untuk menduduki Tepi Barat (West Bank). Judea dan Samria, kata Siti, diyakini adalah tanah yang dijanjukan Tuhan untuk umat Yahudi saja. Argumen itu menurutnya disampaikan oleh Israel pada utusan khusus mereka untuk PBB.

“Awalnya memang konflik (Israel-Palestina) adalah teritorial. Tetapi, di dalam perkembangannya, dengan diawali Kongres Zionis 1897, kemudian muncul ideologi Zionisme. Saat PBB lahir pasca tahun 1945, kemudian dibentuk Komisi Khusus PBB untuk Palestina.

Sempat muncul pertanyaan mengapa harus mengenai khusus Palestina? Ya, jawabnya karena klaim relijius itu. Beberapa insiden juga terjadi akibat sentimen agama, seperti pembangunan terowongan di bawah Masjidil Al Aqsa oleh Israel dan upaya pembakaran masjid tersebut.

Dukung sikap pemerintah

Lebih jauh, Siti mendukung penuh sikap yang disampaikan oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang mendorong anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) agar menolak pengakuan sepihak dari Amerika Serikat. Dorongan itu penting, karena kota Yerusalem memiliki posisi penting dalam mewujudkan perdamaian bagi kedua negara. Selain itu, Yerusalem dianggap sebagai kota suci bagi tiga agama.

“Yerusalem adalah kota suci dari tiga agama. Tembok ratapan simbol warga Yahudi, Masjidil Al-Aqsa tempat suci umat Muslim dan Via Dolorosa tempat suci bagi umat Kristen. Jika pengakuan itu dibiarkan, maka dapat menganggangu stabilitas hubungan di antara tiga agama besar tersebut,” tutur dia.

Belum lagi upaya perdamaian yang telah diusahakan selama puluhan tahun oleh komunitas internasional terpaksa kembali ke titik nol karena ada pengakuan sepihak dari Trump tersebut. Israel dan AS pun dianggap telah melanggar beberapa resolusi PBB. Hal ini menjadi ironi, karena selain menjadi anggota di organisasi internasional tersebut, PBB berkantor pusat di New York.

Beberapa resolusi yang telah dilanggar antara lain nomor 181 tahun 1947 yang menyatakan Yerusalem sebagai kota di bawah kontrol PBB. Resolusi 242 yang menyatakan Yerusalem harus dikembalikan pada Palestina, dan resolusi 476/478 dan 480 tahun 1980 yang mencabut dan membatalkan deklarasi sepihak Israel atas Yerusalem sebagai ibukota mereka.

“Di sejumlah perundingan, seperti perundingan Oslo 1993 dan road map perdamaian Israel Palestina tahun 2000, semua berintikan tentang kerangka ‘two state’, bahwa Yerusalem (adalah kota) untuk Israel dan Palestina,” tutur dia.

Langkah Israel juga harus ditentang karena negara itu banyak melakukan tindak diskriminatif kepada warga Palestina yang lahir dan besar di Yerusalem. Mereka hanya dijatah air bersih sekali dalam satu bulan dan jika ingin keluar dari area yang diduduki Israel, maka harus mendapat izin dari mereka.

Bahkan, kini Israel terus melakukan pembangunan pemukiman bagi warganya di area yang menjadi hak warga Palestina.

Puaskan donatur

Akademisi UGM yang lain, Nur Rachmat Yuliantoro mengatakan pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel dilakukan Trump secara mendadak. Sebab, pada 6 Juni lalu, ia sudah menandatangani kesepakatan untuk tidak menyatakan Yerusalem sebagai ibukota Israel.

Walaupun memang di AS ada UU yang dibuat di era Presiden Roosvelt tahun 1965, bahwa Pemerintah Negeri Paman Sam wajib memindahkan gedung kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Tetapi, aturan itu dapat diperbarui setiap enam bulan sekali. Selama ini, semua Presiden AS memilih untuk terus menunda hal tersebut, karena tidak ingin membuat masalah di kawasan Timur Tengah. Namun, tidak begitu bagi Trump.

Pada Rabu, 6 Desember, ia menyatakan dengan tegas bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel. Baginya, itu adalah suatu fakta yang perlu diakui.

Dalam pandangan Nur, perubahan sikap Trump itu disebabkan adanya desakan dari para donor dan lobi Yahudi yang memiliki posisi sangat kuat di AS.

“Apalagi itu juga merupakan janji kampanyennya,” tutur dia.

Pernyataan itu direspons dengan kemarahan, termasuk dari warga Indonesia. Tetapi, Nur berharap agar publik dapat menggunakan berbagai saluran ekspresi yang positif dan diperbolehkan menurut aturan hukum.

“Tidak sekedar dengan berdemonstrasi atau memberi sumbangan. Tapi, publik juga harus mendorong pemerintah agar sikap ini tidak berhenti sampai di situ saja,” kata dia. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!