Pesan damai Idulfitri dari jemaah Ahmadiyah

Yetta Tondang

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pesan damai Idulfitri dari jemaah Ahmadiyah
"Tidak ada agama yang yang menawarkan kebencian"

JAKARTA, Indonesia —Pagi ini, tepat 1 Syawal 1439 Hijriyah yang jatuh pada Jumat, 15 Juni 2018, umat Muslim berbondong-bondong meninggalkan rumah menuju masjid. Semua terlihat rapi dan necis, siap merayakan hari Idulfitri, hari kemenangan, hari yang ditunggu-tunggu setelah berpuasa sebulan lamanya.

Tak terkecuali para jemaah Ahmadiyah yang hadir di Masjid Al Hidayah, Ciputat Raya, Kebayoran Lama. Sejak pukul 06:00 WIB, satu demi satu umat hadir mempersiapkan diri mengikuti salat Idulfitri.

Lokasi masjid memang tidak terlihat dari jalan utama. Jemaah harus berjalan kaki dari jalan utama untuk bisa mencapai masjid Al Hidayah. Selain masjid ini, ada pula masjid lainnya bernama masjid Al Hikmah yang letaknya tak terlalu jauh. 

Pagi itu, jemaah di masjid Al Hikmah tampaknya cukup ramai sehingga salat Idulfitri dilakukan di lapangan terbuka, persis di samping gedung masjid Al Hidayah. Sementara pelaksanaan salat Idulfitrii di masjid Al Hikmah terlihat meriah dengan tata suara yang terdengar keras, maka suasana di masjid Al Hidayah sebaliknya. Suasana terasa lebih tenang.

Sebelum ibadah salat Idulfitri dimulai, sesekali, jemaah dari dua masjid yang berbeda berpapasan dan berjalan beriringan dari jalan utama. Tak ada konflik, tak ada kebencian atau tatapan nanar dari siapapun. Yang ada hanya damai dan ucapan salam. Pagi itu, semua terasa khusyuk dan damai.

Tepat pukul 07:00 WIB, salat Id dimulai. Usai salat dan khotbah, jemaah saling bersalaman, bersilaturahmi satu dengan yang lain. Entah mungkin karena jumlah jemaah yang tak terlalu besar (meski ratusan), suasana akrab dan kompak terlihat jelas. Satu sama lain jemaah banyak yang sudah saling mengenal dekat.

SILATURAHMI. Usai salat Idulfitri, jemaah saling menyapa dan bersilaturahmi. Foto oleh Yetta Tondang/Rappler

Menurut Jihan, salah satu pengurus masjid Al Hidayah, jumlah anggota yang terdaftar di masjid ini sekitar 500 jemaah. Namun jika di momen spesial seperti salat Idulfitri seperti hari ini, biasanya banyak juga jemaah dari masjid lain yang datang beribadah di masjid Al Hidayah.

FOTO KELUARGA. Momen usai salat idulfitri juga digunakan banyak jemaah untuk berfoto bersama keluarga. Foto oleh Yetta Tondang/Rappler

Bahagia yang hakiki

Alhamdulilah kalau di Jakarta relatif aman. Dibandingkan saudara-saudara kita yang di Lombok Timur yang awal bulan Ramadan kemarin tertimpa musibah…,” kata H. Kandali Achmad Lubis yang berbincang dengan Rappler usai salat Id digelar.

Kandali sedikit gemetar ketika mengingat saudara-saudara Ahmadiyah-nya di Lombok Timur. Seperti yang diketahui, awal Ramadan lalu, tepatnya 19-20 Mei lalu, sekelompok orang melakukan penyerangan, perusakan dan pengusiran terhadap warga penganut Ahmadiyah di Dusun Grepek Tanak Eat, Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

Mengingat mereka, Kandali meneteskan air matanya. “Maaf, saya jadi sedih dan emosional,” ucapnya sambil menyeka pelupuk matanya. Kesedihan terpancar jelas dari raut wajah Ketua Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Kebayoran Lama itu.

“Itu aja sih yang membuat berbeda hari ini. Itu yang membuat kami semua sedih,” kata Kandali lagi.

Bukan cuma jemaah Ahmadiyah yang bermukim di Lombok Timur yang jadi korban penolakan masyarakat. Bahkan hingga kini, penyegelan Masjid Al Hidayah yang berlokasi di Jalan Raya Mochtar RT 03/07 Kelurahan Sawangan Depok, Jawa Barat masih terjadi. Peristiwa penyegelan ini bahkan sudah berlangsung sejak lebih dari setahun lalu.

Karena itu, di momen seistimewa Idulfitri hari ini, wajar saja jika ingatan-ingatan akan sesama jemaah Ahmadiyah datang merasuk umat yang beribadah pagi ini.

SALAT ID. Suasana salat Idulfitri di Masjid Al Hidayah, Kebayoran Lama. Foto oleh Yetta Tondang/Rappler

Foto oleh Yetta Tondang/Rappler

Perasaan sama juga dirasakan oleh Basuki, pengkotbah yang menyampaikan pesan Idulfitri usai salat. Ia sempat seperti kehilangan kata-kata ketika membuka khotbahnya pagi itu. “Ini adalah hari yang bahagia. Dan di hari ini kita mengingat saudara-saudara kita yang mungkin belum bisa merasakan kebahagiaan yang sama,” ujar Basuki dengan suara yang sedikit terbata-bata menahan emosi sedih.

“Hari ini ada hari yang bahagia. Tapi yang membuat berbeda adalah jika kita melengkapi kebahagiaan hari ini dengan warna-warna yang rohani. Kebahagiaan dan kegembiraan yang dilaksanakan dengan syarat seperti inilah yang akan melahirkan kegembiraan dan kebahagiaan yang hakiki,” ungkap Basuki dalam khotbahnya.

Nuansa damai dan cinta kasih sangat terasa dari khotbah di masjid Al Hidayah pagi itu. Bagaimana jemaah Ahmadiyah diajak untuk mengimplementasikan damai, tak cuma dengan sesama jemaah, tapi juga kepada semua manusia. Karena sesungguhnya itulah yang akan melengkapi kebahagiaan Idulfitri.

“Ketika kita menyebarkan pesan kasih sayang di manapun, menjaga harmoni, menghormati hak-hak orang lain, itulah yang akan menarik manusia memperoleh kebahagiaan yang hakiki. Maka seharusnya kebahagiaan itu tidak sebatas diri kita, tapi juga membagikannya dengan masyarakat juga di berbagai level,” tambah Basuki. 

Pesan damai

Tak berhenti hanya sebatas khotbah, Kandali dan banyak jemaah Ahmadiyah mengamini dan terus berusaha menyebarkan damai antar sesama Muslim dan juga pemeluk agama lain, bahkan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Pesan yang tak akan lekang untuk melawan banyaknya penolakan di masyarakat terhadap keberadaan jemaah Ahmadiyah di Tanah Air.

“Di tempat yang lain (dil uar Jakarta) mungkin masih ada pertentangan. Tapi yang kita sedihkan, kenapa kok masih terjadi. Padahal kan ini zaman yang berbeda,” kata Kandali. Meski begitu, di tengah banyaknya penolakan terhadap Ahmadiyah, Kandali menyakini bahwa yang mereka alami bukan murni diskriminasi terhadap agama atau aliran tertentu.

KHOTBAH. Jemaah mendengarkan khotbah yang memuat pesan damai di Idulfitri. Foto oleh Yetta Tondang/Rappler

“Semua ini semata-mata soal politik. Saya enggak pernah melihat agama jadi penyebab perang di zaman ini. Enggak mungkin lah. Semuanya pasti atas nama uang, kepentingan. Kalau perang atas nama agama, mungkin di zaman dulu ya. Di zaman Muhammad SAW ya terjadi. Tapi kalau sekarang enggak lah.”

Ujar Kandali, selama ini agama dijadikan sebagai tameng. Padahal, ketika seseorang murni beragama, seharusnya tidak perlu ada pertentangan. “Tidak ada agama yang yang menawarkan kebencian. Tidak ada yang mutlak bisa bilang bahwa ‘Kamu neraka, kamu surga’. Siapa yang sudah pernah ke sana? Itu semua kuasa Tuhan.”

Tak ada perbedaan

Ahmadiyah menafsirkan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW wafat muncul nabi berikutnya sebagai pembaharu. Dialah Mirza Gulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah. Ini kemudian, membuat sebagian kalangan Islam mengatakan bahwa Ahmadiyah bukanlah Islam.

Namun bagi para pengikutnya, Ahmadiyah tetaplah bagian dari Islam. Tidak ada yang membedakannya dari segi syariat maupun syahadat. Kitab sucinya pun sama, Alquran.

“Kami cuma bedanya kecil banget, itu pun di tafsiran. Kami yang di Ahmadiyah sudah mempercayai bahwa utusan itu yang dijanjikan Tuhan sudah hadir, dalam wujud pendiri jemaah Ahmadiyah. Kalau dia sendiri (Mirza Gulam Ahmad) adalah pecinta Nabi Muhammad SAW. Semua yang diajarkan Nabi Muhammad, dia pelajari. Bahasa sekarang, dia fans berat lah. Jadi kalau dibilang kami menghina Nabi Muhammad SAW, sayang sekali, karena itu salah. Itu menjunjung sekali,” tambah Kandali.

Ia hanya berharap, jemaah Ahmadiyah di Indonesia, di manapun mereka berada, bisa tetap bertahan teguh dan tak berhenti mencintai sesama, siapapun dan bagaimanapun kondisi dan latar belakang mereka. Mencintai sebagai manusia selayaknya. 

“Marilah kita mencari jalan masing-masing untuk mencari Tuhan. Saya yakin semua orang Tuhannya akan jadi satu. Enggak ada Tuhan yang dua. Mari kita cari jalan masing-masing. Kalau di kami (Ahmadiyah), kami percaya bahwa semua orang tidak akan tertinggal, semua masuk surga dan neraka akan kosong. Itulah kemurahan Tuhan kita.”

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!