Ketupat: Jejak panjang dan filosofi di baliknya

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketupat: Jejak panjang dan filosofi di baliknya
Kupat menjadi salah satu jalan dakwah Sunan Kalijaga

MALANG, Indonesia – Ketupat atau kupat nyaris selalu menjadi menu utama saat hari raya Idulfitri. Beras yang dimasak di dalam rangkaian janur itu disantap sebagai pengganti nasi dengan lauk yang menggugah selera seperti telur petis, opor ayam, sayur atau srundeng dan yang lainnya. 

Namun tahukah kamu jika di balik kupat yang nikmat itu tersembunyi pesan moral yang sangat luhur, yakni agar kita selalu memaafkan dan mengakui kesalahan. Selain itu itu kupat ternyata punya jejak yang panjang.

Kupatay sejak abad 9 Masehi

Jejak kupat di nusantara terserak di sejumlah naskah kuno kerajaan di masa lalu. Naskah tertua menyebutkan ketupat ditemukan di dalam Kakawin Ramayana, yang ditulis pada masa Raja Balitung era kerajaan Mataram.

“Naskah itu menjadi naskah tertua yang ditemukan mengandung nama ketupat. Dalam kakawin itu ketupat disebut dengan nama Kupatay, terletak satu deret dengan nama makanan yang lain,” kata Arkeolog asal Malang Mudzakir Dwi Cahyono, Jumat 23 Juni 2017.  

Setelah itu, Kupat kemudian ditemukan muncul pada sejumlah naskah yang lebih muda dari masa kerajaan yang berbeda. Seperti dalam Kakawin Kresnayana pada masa Kerajaan Kadiri di abad 12, kemudian dalam kakawin Subadra Wiwaha dan Kidung Sri Tanjung pada masa Kerajaan Majapahit di abad 14 hingga 15 Masehi. 

Berbeda dengan penyebutan kupat di dalam kakawin Ramayana, nama kupat di kakawin berikutnya tertulis sama seperti penyebutan saat ini, yaitu Kupat. “ Nama yang tertulis kemudian berubah menjadi Kupat, seperti pada penyebutan nama kupat saat ini. Kupat ditemukan sejak era Hindu-Budha,’ katanya.

Dari temuan kakawin tersebut selanjutnya bisa dilacak bahwa kupat muncul dalam masyarakat yang agraris dengan makanan yang berasal dari beras sebagai hasil pertanian. 

Meskipun pada temuan di masyarakat, tak semua kupat dibungkus menggunakan janur. ‘Di daerah pedalaman banyak menggunakan janur, tetapi di daerah pesisir misalnya, juga ditemukan kupat menggunakan bungkus lontar,” katanya.

Dalam perkembangan jaman, menurutnya sering kali makanan mengalami perubahan makna mengikuti konteks yang muncul di masyarakat. Terdapat makanan yang dahulu hanya boleh dinikmati oleh kelompok bangsawan atau pada ritual tertentu saja, kini berubah bisa dimakan kapan saja dan oleh siapa saja. 

“Ketupat juga mengalami pergeseran, dari yang awalnya kuliner biasa saja kemudian berubah menjadi kuliner khusus yang selalu dirindukan di setiap hari raya Idulfitri atau lebaran kupat,” tuturnya.

Mengakui Kesalahan dan Memaafkan

Kupat dipercaya mulai mengalami pergeseran makna sejak masa akhir kerajaan Majapahit, di tahun 1600 an. Masuknya ajaran Islam kala itu menggunakan jalan damai, dengan menggunakan berbagai adat dan tradisi yang sudah tumbuh di masyarakat. 

Konteks kupat mulai mengalami pergeseran fungsi pada masa ini mengikuti kebutuhan syiar Islam yang sedang dilakukan oleh Sunan Kalijaga. “Saat itu Sunan Kalijaga memilih menggabungkan (Islam) dengan apa yang sudah dimaknai oleh masyarakat. Seperti melalui gamelan, wayang dan juga ketupat ini,” kata Dwi Cahyono, pemilik Museum Malang Tempo Doloe. 

Jejak itu menurutnya ditemukan dari tradisi yang tersebar dari mulut ke mulut dan turun temurun. Menurutnya, kata Kupat juga muncul pada sejumlah tembang karya sunan Kalijaga.

Saat itu, penyebar agama Islam di Jawa membutuhkan simbol dan ritual, untuk menyebarkan pesan agar bisa dilakukan dalam keseharian. Kupat kemudian menjadi simbol dari pesan pemaafan dan pengakuan kesalahan setelah melakukan puasa Ramadan selama satu bulan penuh. 

“Kupat berasal dari kata ngaku lepat¸artinya mengakui kesalahan. Terbuat dari janur yang dirangkai, kosong, kemudian diisi penuh dengan beras, di masak dan diberikan oleh yang lebih muda kepada yang lebih tua,” kata pemilik salah satu rumah makan khas masakan Malang di Malang ini.

Seluruh simbol itu memiliki pesan berbeda. Janur yang dirangkai membentuk segi empat dan kosong harus diisi penuh melambangkan hati harus kosong dengan memaafkan berbagai kesalahan orang lain. Anak-anak yang memberikan ketupat pada orang tua berarti berani mengakui kesalahan dengan memberikan langsung ketupat tersebut. 

Sementara janur memiliki banyak makna, diantaranya simbol dari regenerasi, melanjutkan keturunan dan melanggengkan nilai kepada generasi berikutnya. 

“Pada masa lalu, anak-anak wajib membuat ketupat sambil mendengarkan petuah yang terus diulang-ulang. Harus memaafkan semua kesalahan dan berani mengakui kesalahan sendiri,” lanjutnya. 

Sementara bentuk segi empat yang banyak ditemukan di Jawa berasal dari kepercayaan masyarakat Jawa tentang saudara yang tak kasat mata di empat penjuru mata angin.

Konteks tersebut kemudian membuat kupat atau ketupat di Indonesia memiliki fungsi berbeda dengan kuliner sejenis yang ditemukan di negara tetangga sekitar Indonesia, seperti di Malaysia, Thailand atau Singapura. 

“Di Singapura ada kupat tetapi itu makanan khas. Namanya makanan khas yang diproduksi setiap hari. Berbeda dengan di sini. Kupat dimakan pada hari raya Idul Fitri atau sepasaran, atau sepekan setelah hari raya Idul Fitri,” lanjutnya.

Namun kini perayaan kupat menurutnya tak sesakral pada masa lalu. Ketersediaan janur yang tak lagi sebanyak dahulu membuat banyak masyarakat memilih memasak kupat menggunakan plastik. “Mungkin lebih efisien. Tetapi maknanya jadi hilang. Pesan yang dahulu ada tidak lagi terpelihara dan tersampaikan,” kata Ketua Badan Promosi  Pariwisata Jawa Timur tahun 2015 itu.

Untuk memelihara tradisi, menurutnya pemerintah harus terlibat dan mendorong lahirnya upaya nyata. “ Misalnya seperti di Bali, kebutuhan Janur itu utama untuk sarana ibadah. Pemerintah pun mendorong dengan mengeluarkan aturan yang berdampak pada kelestarian dan pasokan janur,” imbuhnya. —Rappler.com 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!