Menikmati sejarah seni rupa Indonesia dalam pameran perdana Museum MACAN

Devin Yiulianto, Valerie Dante

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menikmati sejarah seni rupa Indonesia dalam pameran perdana Museum MACAN
‘Art Turns. World Turns.’ menjadi pameran perdana dan juga penanda dibukanya pintu Museum MACAN bagi publik

JAKARTA, Indonesia —Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN) merupakan institusi seni berbasis di Jakarta yang menjadi pertama dalam jenisnya. Museum ini adalah yang pertama untuk memberikan akses publik terhadap koleksi seni modern dan kontemporer yang berasal dari Indonesia dan internasional.

“Ambisi kami adalah untuk mengembangkan ketertarikan besar untuk mengerti karya-karya dari seniman yang ada. Fasilitas kami mempersembahkan eksibisi dalam tipe profesionalisme yang berbeda,” jelas Direktur Museum MACAN, Aaron Seeto dalam konferensi pers yang digelar di ARK Tower, Jalan Panjang Kebon Jeruk, Jakarta Barat, pada Jumat, 5 November 2017.

Museum yang terletak di fasilitas seluas empat ribu meter persegi tersebut berkomitmen untuk membuat seni lebih mudah diakses publik luas, dan menjadikan edukasi sebagai jantung dari program-programnya. Salah satunya adalah dengan disediakannya Children’s Art Space yang bagi Aaron dapat menjadikan seni lebih mudah dimengerti dan dihargai oleh anak-anak dari usia dini.

“Kami ingin mempromosikan dan menimbulkan kesadaran akan pentingnya edukasi seni di Indonesia,” tutur Chairwoman dari Yayasan Museum MACAN, Fenessa Adikoesoemo.

Art Turns. World Turns.

Sebagai penanda grand opening museum ini digelar pameran seni berjudul ‘Art Turns. World Turns.’ yang akan berlangsung mulai 4 November 2017 hingga 18 Maret 2018. Pameran inaugural ini merupakan hasil dari kurasi Agung Djatmika dan Charles Esche.

Pameran ini adalah potret yang terbentuk dari 90 karya seni dan menggunakan karya seni Indonesia sebagai dasar pondasinya. Pameran ini menelusuri sejarah modern Indonesia sejak periode akhir masa kolonial hingga kemerdekaan, reformasi, dan masa kini. ‘Art Turns. World Turns.’ menyoroti perubahan yang hadir akibat migrasi, perubahan teknologi, ekonomi, sosial, dan politik, terhadap karya seni di dalam dan luar negeri.

Foto oleh Valerie Dante/Rappler

“Eksibisi ini ingin merefleksikan perubahan yang terjadi di lanskap seni. Saya berharap eksibisi ini menjadi media interaksi dari berbagai pelaku dunia seni, bukan hanya bagi para senimannya,” jelas Agung.

Selebihnya menurut Agung koleksi pameran ini sungguh beragam dan berfokus pada seni modern dan kontemporer dari seniman Indonesia, Eropa, Amerika, dan Asia. ‘Art Turns. World Turns.’ adalah pameran mengenai perubahan yang terjadi di bidang seni dengan hubungannya terhadap perubahan di dunia nyata.

Bagi Charles, tantangan yang muncul dalam proses kurasi adalah memunculkan narasi yang sejalan. Ia dan Agung berusaha memperlihatkan bahwa seni tidak berbeda di belahan dunia manapun, seni berubah kala dunia berubah.

“Koneksi antara dunia dan seni, itulah yang kami harap tergambar di eksibisi. Kedua hal ini saling berinteraksi secara aktif,” lanjut Charles.

Pameran ‘Art Turns. World Turns.’ memiliki empat bagian yaitu Bumi, Kampung Halaman, Manusia; Kemerdekaan dan Setelahnya; Pergulatan Seputar Bentuk dan Isi, dan yang terakhir Racikan Global.

Racikan Global atau Global Soup yang menjadi bagian terakhir dalam narasi pameran ini terdiri dari karya yang merupakan gabungan ide seni lukis dari berbagai seniman di belahan dunia.

Salah satu karya unik yang ditampilkan berasal dari seniman asal Jepang, Yukinori Yanagi dengan judul ‘ASEAN + 3’ yang dibuat khusus untuk pameran ini. Karya ini menampilkan bendera dari negara-negara yang tergabung dalam ASEAN ditambah dengan bendera Jepang, Korea, dan Cina.

Bagi Agung, pameran perdana Museum MACAN mewakili karakter koleksi mereka yang sangat luas dan terdiri dari karya-karya yang beragam. Keragaman ini menjadi kekuatan mereka dan seni rupa Indonesia menjadi tulang punggung serta narasi dari pameran.

“Kami ingin menunjukkan bagaimana wacana sejarah seni rupa Indonesia beresonansi dengan seni rupa dari cakupan yang lebih luas,” tutup Agung.

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!