Manusia diciptakan berpasangan, benarkah?

Vregina Diaz Magdalena

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Manusia diciptakan berpasangan, benarkah?
"Apa pun orientasi seksualnya, setiap orang berhak menjadi dirinya sendiri dan mencari pasangan."

JAKARTA, Indonesia —“Semua manusia diciptakan berpasang-pasangan. Laki-laki dan perempuan.”

Saya sering dengar Mama bilang itu waktu saya masih SMP.  Tapi ternyata pernyataan itu menjadi tidak berlaku, setelah saya bertemu dengan kakak kelas saya. Namanya “Trisna”, seorang perempuan dengan kepribadian menarik.

Trisna hobi bermain basket, dan suka menguncir rambut ke belakang. Kami berkenalan, kemudian sering bertukar cerita. Sampai satu hari, saya tahu ia menangis karena melihat kakak kelas perempuan yang menangisi kekasihnya. Saya sempat bertanya-tanya kenapa Trisna bisa menangis dan marah ketika melihat perempuan itu juga menangis. Saya menduga, mereka mempunyai hubungan sangat dekat. Setelah menjadi omongan teman-teman, saya akhirnya mengetahui kalau Trisna menyukai perempuan itu. Sejak kejadian itu, saya menjadi takut untuk berteman dengan Trisna.

Ketakutan itu tidak berhenti, meskipun saya mulai jarang bermain dengannya. Trisna mendadak menjadi kesal dan terus mencari saya. Trisna juga mendadak uring-uringan ketika tahu saya tidak bisa ditemui lagi. Sampai Trisna sadar kalau saya menjauhinya, ia marah dan kesal. Bagi saya, itu tidak penting. Saya memilih kehilangan satu teman daripada saya harus menjadi perempuan yang didekatinya.

Masuk SMA, saya kembali ingat dengan pernyataan berpasangan dari Mama. Kalimat itu kembali mengusik saat saya bertemu lagi dengan kakak kelas perempuan berambut pendek. Sebut saja dia Almas. Waktu itu saya sudah menebak-nebak, apakah Almas perempuan yang sama seperti Trisna. Ternyata memang sama, bedanya saya tidak takut untuk bermain dan pergi dengan Almas.

Sampai satu hari, saya mendengar pengakuan Almas bahwa ia adalah seorang lesbian. Anehnya, saya tidak melakukan respon sama seperti saat mengetahui Trisna sebenarnya. Lama-lama, saya malah menikmati cerita-cerita bagaimana ia pertama kali pacaran dengan kekasihnya yang juga teman saya. Bagaimana saat mereka bertemu, bagaimana Almas mengantar pulang dan bagaimana Almas sering menanti kabar dari kekasihnya.

Setelah itu saya jadi tidak setuju dengan pernyataan Mama. Jelas Mama orang tua yang konservatif sehingga saya kadang-kadang tidak bisa menceritakan apa yang terjadi di sekeliling saya. Ketika Mama mengetahui kalau salah satu teman saya seorang lesbian, ia marah besar dan tidak menerima itu sebagai hal yang wajar.

Di tengah kecurigaan Mama, saya malah semakin asyik berteman dengan Almas, kemudian saya mulai menanyakan beberapa hal yang mungkin sedikit sensitif. Almas banyak bercerita dan mengenalkan saya dengan teman-temannya yang lesbian juga. Saya merasa bertemu dengan orang-orang yang jujur. Saya tertarik dengan cerita-cerita dari mereka, bagaimana mereka menjadi perempuan yang sering membicarakan perempuan. Padahal selama ini yang saya tahu, perempuan pasti membicarakan laki-laki.

Mereka bercerita juga bagaimana saat pertama kali orang tua mengetahui orientasi seksual masing-masing. Orang tua mereka menangis dan meminta mereka untuk menjauhi perempuan-perempuan yang disukai. Mendengar itu, saya merasa miris. Setahu saya, perasaan itu tidak pernah bohong kan? Mereka sudah mencoba jujur dan mengakui, kok malah ditentang? Apalagi saya tahu kalau perasaan suka dan sayang itu anugerah, tapi kenapa malah dihentikan?

Berteman dengan mereka membuat saya mencari tahu tentang orientasi seksual. Ternyata memang perasaan atau ketertarikan sesama jenis bukan menjadi satu hal yang perlu dicurigai atau dihindari. Justru itu sebuah penghargaan bagi mereka yang mau menyadari orientasi seksual dan tidak berusaha menjadi orang lain. Saya juga mulai belajar bagaimana seharusnya menjadi manusia yang sebenarnya.

Apa pun orientasi seksualnya, setiap orang berhak menjadi dirinya sendiri dan mencari pasangan. Pasangan tanpa label, tidak seperti pernyataan Mama.

Vregina Diaz Magdalena berusia 22 tahun. Merasa namanya adalah doa dari Oma untuk peduli kepada dirinya sendiri dan semua perempuan.  

—Rappler.com

Artikel ini sebelumnya diterbitkan di magdalene.co

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!