Bincang Mantan: Memaafkan saat Lebaran

Adelia Putri, Bisma Aditya

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bincang Mantan: Memaafkan saat Lebaran
Pelan-pelan saja, jangan paksakan maafmu, yang ada malah makin dendam

JAKARTA, Indonesia — Kedua penulis kolom baru Rappler, Bincang Mantan, adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius

Bisma: Memaafkan itu dari kita untuk kita

Banyak orang asal iya-iya aja menanggapi ucapan “Mohon maaf lahir batin”. Argumennya adalah karena ucapan itu adalah ucapan standar aja pas hari raya, nothing special, tidak perlu terlalu dianggap serius, sebentar lagi juga bikin dosa lagi.

Hal yang demikian bisa terjadi karena Indonesia dengan adat Timur-nya membuat kita tidak bisa dilepaskan dari yang namanya basa-basi. Contoh, misalnya kita ketemu sama orang yang kita kenal di mall, kita mungkin banget nanya “Sama siapa?” atau “Dari mana?” padahal sebetulnya kita enggak peduli-peduli amat juga sama jawaban yang akan kita terima, iya kan?

Akhirnya ucapan template macam “Mohon maaf lahir batin” masuk juga deh ke kategori basa-basi yang enggak ada artinya. Sayang banget, soalnya saling memaafkan itu adalah bagian yang sangat amat penting dalam merayakan Idulfitri. Tanpanya, hari raya kita kurang lengkap, dan setahu saya dengan memaafkan orang lain kita bisa dapat inner peace yang sebetulnya sangat ‘mahal’ harganya.

Sayang kan kalau ucapan permintaan maafnya cuma di respon iya iya selewat saja?

Karena menurut saya antara ‘basa-basi’ dan ‘peduli’ cuma dibatasi oleh garis tipis yang disebut ‘niat si pelaku’ lho, yang jelas berada di luar kuasa kita. Kita tidak punya kendali apapun soal apa yang ada di benak orang lain.

Just focus on what you can control, don’t sweat the rest!!

Nah, apa lagi yang bisa kita perhatikan dan sepatutnya pedulikan, selain sikap dari diri kita sendiri? Selain kita yang berusaha memaafkan orang lain sebagaimana tidak proper-nya pun orang itu minta maaf? Mau orang itu minta maaf pakai broadcast  di Whatsapp atau Line, nge-tag massal di foto Instagram, di kartu parcel, minta maaf langsung selewat, minta maaf serius, apapun itu minta maaf ya minta maaf.

Maafkanlah, anggap mereka semua serius dan bukan sekedar basa basi. “Forgive others, not because they deserve forgiveness, but because you deserve peace,” kata Jonathan Lockwood Huie

Kita juga harus ingat bahwa ada dua unsur pada “Mohon maaf lahir batin”. Selain kita memaafkan secara lahiriah yang menurut tafsir awam saya berarti kita menyambut secara real permohonan maafnya, baik lewat lisan, tulisan, gestur, atau hal kasat mata lainnya, tapi kita juga harus memaafkan secara batiniah.

Maksudnya, kalau bahasa pasarnya, “Jangan iye-iye aje luh”. Maafkanlah dari hati, bahwa iya kita sudah tidak ada masalah lagi dengan orang itu. Yang lalu biarlah berlalu. Kalau kata Elsa, “The past is in the past, let it go, let it go”. Jangan besok-besok di ungkit-ungkit lagi. Kalau perlu hapus semua ‘bukti’ capture screen  yang udah kita siapin untuk mengungkit masalah itu dari handphone.

Ibaratnya kartu kredit, masalah kita sama orang lain itu kayak tagihan yang udah numpuk banget. Enggak kelihatan secara kasat mata, tapi ada dan sebetulnya sangat membebani kita. Nah, anggap minta maaf dari orang lain itu sebagai ‘uang kaget’ yang bisa kita pakai untuk melunasi sedikit demi sedikit hutang kita, dan kuasa sepenuhnya ada di kita antara untuk melunasi, atau enggak dan stay terbebani.

Yakin mau pilih terus terbebani?

Tapi seperti halnya kartu kredit, melunasi (baca: memaafkan) bukan berarti lupa. Kita harus belajar sesuatu dari situ, bahwa sangat yang namanya utang itu tidak baik. Bikin ketagihan tapi jauh dari kata baik. Nah, kita pun juga harus belajar bahwa orang-orang itu bisa lho menyakiti kita dengan cara sekeji itu. Kita harus maafin mereka, tapi jangan bodoh untuk mau dijahatin lagi.

Maafin, jangan lupain.

Adelia: Seperti kata KOTAK, “Pelan-pelan saja”

Saya tidak percaya kalau Ramadan serta merta membuat kita, sebagai individu apalagi masyarakat, berubah ke arah yang lebih baik. Namun, saya percaya kalau Ramadan bisa jadi awal mula sebuah perubahan.

Toh, bagi kebanyakan dari kita, hidup tidak seperti sinetron yang dalam hitungan 30 episode kejar tayang, semua dendam bisa hilang dan semua penjahat mendadak bertobat dan berhijab.

Begitu juga untuk urusan maaf-maafan. Kita terbiasa mengucapkan “Maaf lahir batin” secara otomatis tanpa memberikan makna apapun pada ucapan tersebut. Enggak percaya? Kalau begitu, kenapa kamu hanya co-pas ucapan dari satu grup ke grup lain? Kenapa brand-brand elektronik bisa ikut-ikutan minta maaf lahir batin, padahal punya salah apa juga kita tidak paham? Minta maaf dari siapa dan untuk masalah apa spesifiknya?

Daripada kamu sibuk mengarang ucapan Lebaran yang paling menarik untuk di copy-paste pada teman-temanmu, saya lebih ingin mengajak kamu untuk betul-betul minta maaf pada yang dekat dan pada yang pernah kamu sakiti. Minta maaflah dengan hati, bukan dengan formalitas.

Tapi, ada yang sama pentingnya dibandingkan meminta maaf, yaitu memaafkan. Memaafkan, tentu saja, enggak otomatis terjadi ketika pihak sebelah mengirim chat Lebaran atau menjulurkan tangannya. Memaafkan juga tidak sepenuhnya ada di bawah kontrol sadar kita.

Menurut saya, enggak ada salahnya kalau kamu belum bisa memaafkan seseorang atau sesuatu. Manusiawi, kok. But you can try to take the first step to peace, karena punya dendam itu capek banget, lho. Kalau kamu belum bisa memaafkan, mungkin kamu bisa mulai mencoba menerima kalau ‘it is what it is’ alias yang sudah terjadi ya memang sudah terjadi, atau mencoba mamahami kalau apapun yang terjadi, mungkin ada alasan kompleks di balik itu semua.

Semua butuh waktu, makanya, seperti kata KOTAK, “Pelan-pelan saja.” Mungkin di Ramadan depan kamu bisa lebih mengikhlaskan. Mungkin, setelah Ramadan ini, kamu bisa mulai mengajak diskusi atau mencari cara mengeluarkan unek-unek di hati.

Mungkin, lama-lama, kamu bisa membuka pintu maaf satu sama lain tanpa kamu sadari. Mungkin, tanpa kamu sadari, kamu akhirnya bisa berdamai dengan mantan, sahabat kecil, atau saudara, lagi.

Pelan-pelan saja, jangan paksakan maafmu, yang ada malah makin dendam.

Iya, saya tahu ada beberapa orang yang ‘kejahatannya’ mungkin tidak akan pernah bisa kamu maafkan apalagi maklumi. Kalau sudah begini, yang bisa kamu lakukan adalah berdamai dengan dirimu sendiri dan berhenti menyalahkan diri sendiri (iya, termasuk bertanya-tanya: what if?).

Percayalah, memaafkan diri sendiri itu lebih sulit, namun lebih dibutuhkan dibandingkan memaafkan orang lain. But, please try to do so.

Mungkin, kuncinya ada di belajar ikhlas untuk apa yang telah terjadi. Mungkin, kita semua bisa belajar atau mencoba belajar satu hal dari Ramadan kali ini: ikhlas, untuk pelan-pelan memaafkan orang lain dan diri sendiri.

Selamat Lebaran! And from the bottom of my heart, maaf kalau tulisan kami selama ini suka bikin kesal! Selamat Lebaran, selamat makan santan, dan (mungkin) selamat berbaikan dengan mantan!  🙂

—Rappler.com

Adelia adalah mantan reporter Rappler yang kini berprofesi sebagai konsultan public relations, sementara Bisma adalah seorang konsultan hukum di Jakarta. Keduanya bisa ditemukan dan diajak bicara di @adeliaputri dan @bismaaditya

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!