Siapkah masyarakat Indonesia dengan kartu uang elektronik untuk bayar tol?

Rosa Cindy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Siapkah masyarakat Indonesia dengan kartu uang elektronik untuk bayar tol?

ANTARAFOTO

Bermacam problematika menyertai pemberlakuan bayar tol dengan e-money. Mulai dari kehabisan saldo di jalan, pembebanan biaya administrasi, hingga ‘tongtol’

JAKARTA, Indonesia — Seorang pengemudi pria memprotes keras penjaga gardu tol karena ia tidak bisa membayar dengan uang tunai. 

“Harus pakai kartu bayarnya,” kata penjaga gerbang tol sambil tangannya mengisyarakatkan bentuk kartu.

“Enggak punya kartu, Bang. Maunya bayar cash,” jawab si pengemudi.

“Udah enggak terima cash lagi,” balas si penjaga gardu tenang.

“Sejak kapan?” tanya si pengendara lagi. 

Percakapan antara kedua pihak ini pun berlanjut panjang dan terekam kamera penumpang mobil tersebut dalam sebuah video berdurasi sekitar 3 menit.

Pemerintah telah memasang berbagai spanduk pemberitaan bahwa mulai Oktober 2017 akan diberlakukan secara bertahap pemberlakuan kartu uang elektronik.

Pemberlakuan Gerbang Tol Otomatis (GTO) pada seluruh pintu tol di Indonesia mulai dilakukan 31 Oktober 2017 ini. Artinya, gerbang tol tidak lagi melayani pembayaran tunai. Peraturan ini disebut-sebut sebagai langkah awal mendorong budaya nontunai (cashless society). Selain itu, kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi kemacetan akibat antrean di gerbang tol.

“Memang masalahnya, selain [kendala] teknologi dan sebagainya, adalah habit masyarakat yang memang belum cashless society,” kata Vice President Corporate Communication PT Jasa Marga Dwimawan Heru kepada media.

“Pemerintah menginginkan ini, Jasa Marga juga menyambut gembira gerakan nontunai karena ini juga bagi Jasa Marga untuk meningkatkan transaksi dan mengurangi antrean di gerbang dan sebagainya.”

Karenanya, pihak Jasa Marga selaku penyelenggara jasa jalan tol juga telah bekerja sama dengan empat bank; yaitu Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN. Penjalinan kerja sama dengan BCA juga tengah dilakukan sehingga ke depannya penggunaan uang elektronik yang disediakan bank tersebut juga dapat digunakan pada seluruh gardu tol.

Tiga alasan penolakan

Pemberlakuan kebijakan baru memang selalu menuai pro dan kontra. Begitu pula dengan hal ini, yang menuai dukungan dan penolakan dari masyarakat.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi merupakan salah satu yang menyerukan penolakan. Menurutnya, kebijakan ini dianggap tidak efektif mengurangi kemacetan.

“Yang menyebabkan kemacetan di jalan tol adalah volume kendaraan yang tinggi. Karena itu, GTO dan kewajiban uang elektronik tidak berguna untuk mengurangi kemacetan,” kata Tulus kepada media.

Diakui Tulus, YLKI sudah menerima keluhan mengenai kemacetan yang justru ditimbulkan karena kewajiban menggunakan uang elektronik di gerbang tol.

Masyarakat pun turut menyampaikan keluhan. Fidya Citra, misalnya. Baginya, pemberlakuan pembayaran nontunai di gerbang tol akan menyulitkan pengendara jika tidak memiliki saldo. Ia meyakini GTO tidak akan terlalu berpengaruh pada pengurangan kemacetan. 

“Menurut saya sistem cashless itu enggak ngaruh-ngaruh amat buat mengatasi kemacetan. Toh kalau cashless tapi pengendaranya lupa isi saldo, bukannya tambah macet?” tutur karyawan muda ini kepada Rappler.

Ia mengakui bahwa “pemaksaan” penggunaan pembayaran nontunai ini dapat efektif membentuk budaya nontunai. Sayangnya, tidak semua orang sudah mengerti akan cara pemakaiannya. Selain itu, yang menjadi kekhawatiran utamanya adalah ketiadaan sarana pengisian ulang saldo di pintu tol.

“Sebenernya efektif. Tapi ya namanya manusia kan pasti ada khilafnya, bisa lupa isi saldo. Takutnya kalau enggak ada satupun gerbang darurat, bakal bikin repot,” kata Fidya.

Kebijakan baru ini juga memungkinkan para pekerja di gerbang tol kehilangan pekerjaan. Ini menjadi salah satu alasan warga seperti Arya Dharmali menolak pemberlakuan kartu tol ini.

“Kasihan orang yang jaga gardu tol, lapangan pekerjaannya bisa hilang karena tergantikan mesin,” tutur Arya.

Ia mengakui kalau negara memang harus berkembang dan mengikuti perkembangan zaman. Namun, hal yang paling ia tekankan adalah altenatif pekerjaan bagi pada para penjaga tol yang kehilangan pekerjaannya.

Selama para penjaga gerbang tol itu mendapatkan alternatif pekerjaan lain setelah pembayaran nontunai diberlakukan, dan tidak mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), ia mengaku akan mendukung pemberlakuan kebijakan ini.

Jasa Marga tidak akan PHK pekerja gardu tol

Petugas menawarkan e-money di gerbang pintu tol Jagorawi Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Foto oleh Yulius Satria Wijaya/Antara

Menanggapi dugaan PHK bagi para penjaga gerbang tol, Dwimawan memastikan bahwa tidak ada pekerja yang akan kehilangan pekerjaan. Sebab, tuturnya, Jasa Marga berkomitmen bahwa elektronifikasi tidak akan berpengaruh pada hubungan kerja.

Para pekerja tersebut akan dialihtugaskan untuk menjadi petugas operasional yang berfungsi untuk mengawas di lokasi. 

“Kira-kira ada satu orang untuk tiga GTO,” kata Dwimawan kepada Rappler saat dihubungi via telepon, pada 10 Oktober.

Selain itu, beberapa pengembangan yang akan dilakukan Jasa Marga pun dapat menjadi lapangan kerja baru bagi mantan penjaga gerbang tol ini. 

“Jasa Marga ke depannya ada 600 kilometer jalan tol baru dalam tiga tahun ke depan. Kami akan butuh banyak tenaga kerja di sana. Teman-teman ini akan kita alih profesikan ke sana, dengan kita tingkatkan kompetensinya,” ujarnya.

Dengan demikian, mantan penjaga gerbang tol ini akan menjadi prioritas dalam penambahan tenaga kerja untuk pengerjaan jalan tol baru tersebut.

Kehabisan saldo di jalan?

Meski demikian, tak sedikit juga masyarakat yang mendukung pemberlakuan kebijakan ini. 

Disampaikan Faizah Fitria, salah seorang pengguna alat pembayaran nontunai, kebijakan ini harus didukung karena memudahkan masyarakat. Meski diakuinya bahwa setiap kebijakan pasti memunculkan pro dan kontra, namun kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang baik.

“Zaman berubah. Ojek saja yang konvensional sekarang sudah banyak ditinggalin karena ada yang lebih memudahkan. Sama halnya untuk pembayaran di jalan tol. Kalau ada yang memudahkan, kenapa enggak?” katanya.

“Sebelum masuk jalan tol, kita mengecek. Apakah ada saldo yang cukup, dan saldo itu mudah sekali mengeceknya.”

Untuk itu, menurut Faizah, masyarakat harus menyiapkan dirinya sendiri terkait perkembangan zaman dan pemberlakuan kebijakan ini.

“Ini kayak pertanyaan, ‘Kalau mau pesan ojek online terus enggak ada kuota gimana?’. Berarti kitanya yang mesti well-prepared,” tutur mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah ini saat ditanya mengenai kemungkinan kehabisan saldo di jalan.

“Mau merasakan praktisnya transportasi online? Ya, siapkan kuota internet. Mau merasakan efektifnya GTO? Make sure to keep your saldo loaded,” kata Faizah.

Terkait dengan kekhawatiran masyarakat akan kendala mengisi saldo di jalan, Dwimawan menjelaskan bahwa kehabisan saldo seharusnya tidak menjadi masalah. Sebab, masyarakat diharapkan aktif mengecek saldo secara berkala.

“Kami berharap, masyarakat itu mulai sekarang, mulai disiplin. Sebelum masuk jalan tol, kita mengecek. Apakah kita sudah mempunyai kartu elektronik, apakah ada saldo yang cukup, dan saldo itu mudah sekali mengeceknya,” tuturnya.

Pengecekan saldo memang bisa dilakukan dengan beragam cara. Salah satunya adalah jumlah saldo yang selalu tampak di layar yang tersedia tak jauh dari gardu tol. Selain itu, masyarakat juga bisa mengecek di toko retail dan pasar swalayan. 

Perbankan juga menyajikan satu kemudahan, yaitu pengecekan dan pengisian saldo yang bahkan bisa dilakukan melalui mobile banking, dengan menggunakan fitur near-field communication (NFC) yang tersedia pada sebagian besar ponsel pintar.

“Kami imbau masyarakat untuk mulai menyadari pentingnya mengecek saldo secara berkala,” kata Dwimawan.

Jika terlanjur kehabisan, Jasa Marga juga tetap menyediakan layanan pengisian saldo dengan bantuan petugas gardu.

“Mesin kami ada siapkan. Tapi kembali lagi bahwa mesin itu dari bank, jadi bisa top-up tunai di gardu. Tapi kami tidak menyarankan top-up di gardu. Karena kalau semua orang top-up di gardu, nanti sama saja dengan yang dulu. Panjang macetnya,” ucapnya. 

Sulit dan waspada bahaya

Selain tol dalam kota, tol ke luar kota juga terkena pemberlakuan kebijakan yang sama. Salah satu kesulitan yang dapat terjadi adalah pengendara yang kehabisan saldo di tengah jalan tidak dapat meminjam kartu uang elektronik pengendara di belakangnya. Sebab, mesin akan membaca gerbang asal dan memotong saldo sebesar yang seharusnya.

Namun, dengan meminjamkan kartu pada pengendara yang kehabisan saldo, kartu yang sama tidak dapat digunakan lagi.

Modus penipuan dengan penukaran kartu juga sangat mungkin terjadi. Sehingga, disarankan agar pengguna memberikan identifikasi pada kartunya agar tidak mudah ditukar dengan kartu serupa.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyadari adanya resistensi dari masyarakat, namun ia optimistis kebijakan ini akan berjalan semestinya. Dalam sebuah unggahan di akun resmi Facebook-nya, Jokowi mengatakan, “Banyak negara yang sudah mengurangi transaksi tunai. Dengan pembayaran non-tunai akurasi pembayaran semakin jelas, lebih baik, lebih cepat dan lebih aman. Karena itulah mulai akhir Oktober 2017 ini transaksi pembayaran seluruh jalan tol dilakukan secara non-tunai melalui uang elektronik.”

“Mungkin ada yang belum terbiasa, tapi ya, harus menyesuaikan diri,” katanya memberi pesan.

Pembebanan biaya administrasi

Selain permasalahan belum siapnya infrastruktur dan pro-kontra di masyarakat, pemberlakuan kartu toll juga menuai kontroversi dalam beberapa aspek lainnya. Salah satunya adalah pembebanan biaya administrasi ketika melakukan pengisian ulang saldo kartu uang elektronik. 

Kebijakan tersebut dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) dan tertuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur No.19/10/PADG/2017 tanggal 20 September 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway/NPG). 

Jumlah biaya administrasi yang dikenakan kepada masyarakat pun beragam. Dengan cara on-us alias pengisian pada mesin atau kanal pembayaran penerbit kartu, masyarakat baru akan dikenakan biaya administrasi sebesar maksimal Rp750 jika menambah saldo hingga Rp200 ribu. Pengisian di bawah Rp200 ribu tidak akan dikenakan biaya.

Namun, bila melakukan pengisian saldo dengan cara off-us, alias melakukannya di pedagang ritel, pasar swalayan, dan mesin atau kanal pembayaran penerbit kartu yang berbeda, masyarakat dikenakan biaya administrasi sebesar Rp1.500.

Meski demikian, kebijakan ini tetap menuai kontroversi. YLKI menjadi salah satu pihak yang menolak.

“Konsumen dipaksa menggunakan uang elektronik dengan dalih untuk mendukung masyarakat tanpa uang tunai,” kata Tulus. “Seharusnya konsumen menerima insentif karena sudah ikut mendukung, bukan malah disinsentif.”

Seorang pengemudi kendaraan menggunakan alat pemukul nyamuk sebagai 'tongtol' untuk menempelkan kartu ke mesin pembayaran tol. Foto dari bukalapak.com

Sejalan, masyarakat juga mengaku merasa keberatan. Sebagai mahasiswa, Rendy menjadi salah satu pihak yang menolak keras pembebanan biaya administrasi tersebut. Baginya, mahasiswa sudah sering kesulitan keuangan, dan penetapan kebijakan ini justru semakin memberatkan.

Hal serupa juga diungkapkan Faizah. Ia pun mengaku keberatan dengan pembebanan biaya ini. Namun, di sisi lain, ia mengaku akan mendukung pemberlakuan kebijakannya jika digunakan untuk kepentingan yang tepat.

“Kalau misalnya biaya ekstra itu bisa stabil dan pelayanan GTO-nya worth paying for, saya rasa itu tidak apa-apa,” kata Faizah.

Menanggapi komentar masyarakat, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Agusman Zainal menyatakan bahwa penetapan kebijakan ini tergantung pada keputusan masing-masing bank. Pihak Bank Indonesia hanya menyarankan untuk diberlakukannya kebijakan ini. Namun, jika pihak bank merasa tidak perlu melakukannya pada para nasabah, kebijakan ini bisa untuk tidak diberlakukan.

Dengan demikian, tutur Agusman, pembebanan biaya yang saat ini sudah berlaku merupakan keputusan dari masing-masing bank. Selain itu, Bank Indonesia juga telah memberikan arahan untuk tidak membebankan biaya administrasi pada pengisian ulang di bawah Rp200 ribu pada bank penyedia kartu uang elektroniknya. 

Misalnya, pengisian ulang e-money melalui Bank Mandiri, atau pengisian Flazz melalui BCA, sejumlah kurang dari Rp200 ribu, tidak akan dikenakan biaya administrasi. Pengisian lebih dari Rp200 ribu atau pengisian kartu uang elektronik pada bank yang bukan penyelenggaranya akan tetap dikenakan biaya tersebut.

Terkait dengan pembebanan biaya pengisian ulang lewat gerai minimarket, hal ini menurut Agusman memang wajar dilakukan. Sebab, biaya tersebut dapat digunakan untuk merawat fasilitas yang ada.

Muncul tren ‘tongtol’

Pemberlakuan ini pun memunculkan satu tren baru, yaitu penggunaan “tongtol” alias tongkat e-toll. Terinspirasi dari tongkat eksis (tongsis alias selfie stick) yang berfungsi menjadi perpanjangan tangan, tongtol juga memiliki fungsi serupa. 

Tongtol sendiri muncul dengan bentuk tongkat, semacam tongkat pemukul lalat, dengan kotak yang umumnya menjadi tempat ID card di ujungnya. Inovasi ini lahir karena banyaknya pengguna jalan tol yang kesulitan menempelkan kartu uang elektronik ke mesin pembayaran. 

“Idenya muncul sekitar setahun lalu. Kan mulai banyak orang pakai e-toll card. Tapi ada satu masalah. Karena tangannya enggak sampai, mereka sampai harus lepas seat belt, bahkan buka pintu,” kata Andrian Gunawan, seorang pengelola pabrik plastik yang mengaku menjadi penggagas ide kemunculan tongtol kepada media.

Lulusan Singapore Institute of Management ini pun menggunakan kesempatan ini untuk merambah dunia bisnis. Apalagi, dituturkannya, orang tuanya memiliki pabrik plastik. Kebetulan ini pun semakin mempermudah jalannya.

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan tongtol, penjualannya pun semakin marak, baik secara online maupun offline. Di situs belanja Tokopedia, misalnya, terdapat lebih dari 2.700 hasil pencarian dengan kata kunci “tongtol”. Sedangkan, ada lebih dari 1.500 hasil di Bukalapak.

Harganya pun beragam, mulai dari Rp3.000 hingga Rp20 ribu. Selain itu, muncul pula varian barunya, yang kerap disebut dengan nama Tongtol 2.0. Varian ini menggunakan per di perbatasan tongkat dan kartu, sehingga semakin memudahkan pengguna. Harga yang dipatok berkisar pada Rp40 ribu hingga Rp65 ribu.

Selain itu, penjual tongtol juga kerap ditemui di jalan, dekat dengan lampu lalu lintas. Harga yang dipatok pun tak jauh berbeda dengan yang bisa ditemui di penjual online.

Namun, bukan orang Indonesia kalau tidak kreatif. Sejumlah pengguna jalan tol yang kesulitan mengaku pernah menggunakan benda lainnya sebagai pengganti tongtol.

Alberdi Ditto, misalnya. Fotografer freelance ini mengaku sedikit kesulitan dalam menggapai mesin pembayaran. Karenanya, ia menggunakan benda lain.

“Kalau punya tongtol, enggak. Enggak pernah pakai juga. Tapi saya pernah pakai tripod,” katanya tertawa.

Kreativitas lain yang juga sempat viral di media sosial adalah penggunaan alat tepuk lalat sebagai pengganti tongtol. Pengguna hanya perlu menempelkan kartu uang elektronik pada alat tepuk lalat, dan benda tersebut dapat berfungsi seperti tongtol.

Meski demikian, memang tidak semua orang merasa perlu menggunakan tongtol. Salah satunya adalah Budhy Santoso. Disampaikannya, tinggi badannya yang hampir mencapai 190 sentimeter hampir selalu memudahkan dirinya untuk menggapai mesin pembayaran.

“Jadi enggak perlu sih. Tangan sendiri aja udah kayak tongtol,” kata karyawan muda ini diiringi tawa. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!