Melawan ‘cyberbullying’ dengan membalas yang baik

Abdul Qowi Bastian, Rosa Cindy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bentuk-bentuk cyberbullying antara lain akun palsu penyebar kebencian, pengungkapan data pribadi, ujaran kebencian, hingga pengeditan foto jadi meme

 

JAKARTA, Indonesia — Yopi Kurniawan gemar mengunggah video parodi dirinya sedang catwalk ke akun media sosial pribadinya. Namun suatu hal yang ia anggap sebagai bentuk ekspresi diri itu berbalik menyerangnya.

Serbuan komentar tajam netizen acapkali membuatnya merasa rendah diri.

“Hobi saya melakukan parodi catwalk menuai banyak cibiran, meski tak sedikit pula yang memberikan pujian,” kata Yopi, seorang pecinta kontes kecantikan (pageant lover).

“Mulai dari cibiran yang menyerang fisik sampai mental pernah saya dapatkan.”

Pria yang sehari-hari bekerja sebagai seorang asisten untuk desainer ternama Indonesia itu sebenarnya tak terlalu mempermasalahkan beragam cemoohan yang datang kepadanya. Tapi ketika komentar negatif mulai menyerang ibunya, itu yang membuatnya sedih.

“Pernah ibu saya ikut dihina dan itu membuat saya sedih sekali,” ujar pria 28 tahun itu. 

“Saya menutup diri dari perempuan dan sangat memperhatikan penampilan saya karena takut mendapat hinaaan lagi.”

-Jauza Alayya, 20 tahun

Ia mengatakan, kebanyakan komentar pedas yang terima dikirim oleh akun-akun palsu (fake accounts) yang beredar di dunia maya.

Kasus perisakan siber (cyberbullying) juga pernah menimpa Jauza Alayya. Ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), Caca, panggilan akrabnya menemukan sebuah grup chat di Facebook.

Nama grupnya: ABC. Sebuah nama yang terkesan biasa-biasa saja pada awalnya. Tapi belakangan diketahui, ABC merupakan singkatan dari “Aku Benci Caca”.

“Grup ini berisi sekelompok orang yang belakangan saya tahu merupakan teman sekelas saya yang merasa tidak suka dengan saya,” kata Caca, yang sekarang berusia 20 tahun dan telah menjadi seorang mahasiswi.

“Di sana mereka bergosip tentang saya. Saya lesbian, saya ansos [anti-sosial], saya perempuan genit, dan semacamnya.”

Omongan buruk tentang dirinya pun menyebar ke seluruh sekolah, yang menyebabkan ia dikucilkan dan harus pindah tempat duduk.

“Saya sempat tidak punya teman selama beberapa bulan. Saya harus pindah duduk di kelompok laki-laki. Bermain dengan hanya teman laki-laki,” katanya.

Yang ia sesalkan, ada beberapa anak perempuan yang mengaku “terpaksa” bergabung di grup tersebut hanya karena tidak ingin menjadi korban berikutnya. 

Meski kejadiannya telah terjadi bertahun-tahun lalu, namun traumanya masih membekas. 

Saat ini saya memiliki sedikit trauma dan krisis kepercayaan pada teman perempuan,” akunya.

“Saya menutup koneksi dengan perempuan, sangat memperhatikan penampilan saya karena takut mendapat hinaaan lagi, menghindari kontak dengan perempuan, dan semacamnya.”

(BACA: Cerita mereka yang menjadi korban ‘cyberbullying’)

‘Terasa menyenangkan’

Cerita teman-teman Caca yang mengaku “terpaksa” bergabung dengan grup Facebook mirip seperti apa yang dialami oleh Ruby Astari. 

Ruby pernah menjadi pelaku perudungan siber karena didorong oleh seorang temannya untuk mem-bully teman lain. Teman Ruby, sebut saja Celia (bukan nama asli), kerap komplain mengenai teman perempuan lainnya, Naira (nama disamarkan), yang menurutnya sering mengeluh dan mencari simpati di akun media sosial pribadinya. Seharusnya, kata Celia, perempuan itu harus kuat dan independen, tidak menyedihkan dan memalukan. 

“Saya merasa menjadi seperti karakter figuran di film Mean Girls, dan itu membuat saya tidak nyaman,” kata Ruby dalam sebuah tulisan di situs Magdalene.co.

Ia mengatakan, awalnya mem-bully orang lain terasa menyenangkan. Ia meninggalkan komentar seperti “Don’t be such a cry-baby” (“Jangan jadi orang cengeng”). Hingga pada suatu hari ia mendapatkan balasan dari Naira, “Apa sih yang pernah saya perbuat sampai kamu melakukan ini?”

Apa itu ‘cyberbullying’?

Perisakan atau bullying memang bukan hal baru dalam kehidupan manusia. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi, bullying juga merambah dunia maya.

Menurut Project Officer Action! Ghivo Pratama, batasan bullying sebenarnya sangat subyektif. 

Yopi Kurniawan menjadi diri sendiri mengekspresikan dirinya di media sosial, namun yang ia dapat komentar negatif. Foto dari Yopi Kurniawan

Dari sisi korban, bullying terjadi apabila korban merasa tersakiti, baik secara fisik maupun psikologis. Sedangkan di sisi lain, aksi ini juga bisa diukur ketika pelaku konsen pada tindakan bullying-nya.

“Kata kuncinya konsen. Ketika kita sudah ngatain temen kita, dan habis itu kita berpikir, ‘Aduh, apa perkataan saya tadi menyakiti hatinya, ya?’ Itu sudah bisa dikategorikan sebagai bentuk bullying,” kata Ghivo.

Tingkatan bullying sendiri semakin berat kala korban mengalami penurunan rasa percaya diri, prestasi, kualitas kerja, dan lainnya.

Meski demikian, cyberbullying sendiri tetap dapat ditemukan dalam beberapa bentuk, beberapa di antaranya adalah akun palsu yang menyebar kebencian di media sosial, pengungkapan data pribadi seseorang di media sosial, pemberian komentar dan ujaran-ujaran kebencian, bahkan pengeditan foto menjadi meme.

Kasus perisakan, menurut Ghivo, tidak hanya melibatkan pelaku dan korban, tapi juga orang-orang yang menjadi saksi.

“Menurut saya, yang paling parah dalam bullying adalah ketika orang mengambil sikap untuk diam,” tutur Ghivo.

Sebab, ujarnya, saat kita melihat adanya aksi bullying tapi diam saja, atau bahkan ikut memberikan like pada postingan yang tergolong merisak, artinya kita sudah menjadi back stander dari pelaku. Hal ini kemudian ikut menggolongkan kita sebagai pelaku bullying. 

Karenanya, cara paling tepat dalam menindaki perisakan menurut Ghivo adalah speak-up. 

“Ungkapkan kalau memang kamu enggak nyaman dan enggak suka dikatain seperti itu,” tuturnya.

“Kalau kita speak-up, kalau kita do something, pasti akan ada hal yang berubah.”

Membiasakan dengan #BalasYangBaik

Demi membiasakan budaya melawan perudungan di media sosial, Action! bersama situs Campaign.com menggagas kampanye bersama bertajuk #BalasYangBaik. Kampanye ini digagas bersama dengan beragam organisasi lain seperti Into The Light, #Ismile4You, Get Happy, Do Something Indonesia, dan Youth Network on Violence Against Children (YNVAC).

Melalui kampanye ini, masyarakat diajak untuk membiasakan diri agar selalu membalas segala bentuk cyberbullying dengan kebaikan. Sebab, menurut Community Engagement Officer Campaign.com Ahmad Aziz, membalas dengan konten hinaan lainnya juga akhirnya menempatkan kita sebagai pelaku bullying.

“Kan sering ada kasus bullying, malah ramai di medsos, nge-bully pelakunya. Itu kebiasaan yang salah, seolah kita stand-up antibullying, padahal enggak,” kata Aziz.

Sejauh ini kampanye #BalasYangBaik dimulai secara online, menggunakan kekuatan media sosial. Namun, karena merasa membutuhkan pendekatan secara langsung, Campaign dan beberapa organisasi lainnya setuju untuk memberikan lokakarya ke sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Salah satu yang sudah dilakukan adalah workshop ke Universitas Negeri Jakarta, pada akhir Oktober lalu.

Selain itu, sejumlah cara dapat dilakukan secara mandiri. Misalnya, disampaikan Ghivo, antar teman bisa menjadi konsultan untuk satu dengan yang lainnya. 

“Jadi berdua, masing-masing yang jadi konsultan untuk satu sama lain. Kamu ada masalah apa, dibantuin. Berlaku juga sebaliknya. Nanti kalau sudah enggak bisa nanganin, bingung, bisa kontak ke kita untuk minta bantuan,” katanya.

Mencari sisi positif

Bagi Yopi, menerima cobaan hidup dalam bentuk cyberbullying sudah menjadi makanan sehari-hari. Tapi ia berterima kasih terhadap dukungan dan doa dari teman-temannya, bahkan juga dari orang tak dikenal.

Support dan doa yang selalu mereka berikan tentu berdampak besar bagi kehidupan dan diri saya. Saya menjadi pribadi yang lebih percaya diri, more talkative, dan dapat lebih menghargai orang lain,” katanya.

Ia kini sudah tidak ambil pusing lagi dengan komentar negatif yang muncul di laman media sosialnya.

“Satu pelajaran yang saya ambil dalam kehidupan pasti ada orang yang suka dan tidak suka, semua tergantung bagaimana diri kita menyikapinya. Abaikan semua komentar negatif, ambil sisi positifnya, dan jadikan pembelajaran agar kita menjadi manusia yang baik kedepannya.” —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!