Sinterklas dan iman yang lapuk

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sinterklas dan iman yang lapuk

AFP

Maka dari itu saya kira, kecuali imanmu lapuk atau justru nihil, seharusnya ibadah orang beragama lain tak mengganggumu.


Setiap tahunnya, perayaan Natal selalu memberikan nuansa yang berbeda.

Waktu saya SD, 25 Desember adalah saat yang menggembirakan karena hari itu saya bakal mendapati hadiah bertengger di bawah pohon Natal plastik. Seperti anak-anak yang masih tolol pada umumnya, saat itu saya percaya kalau ada paman tua gendut berjanggut putih tebal yang menyelinap ke dalam rumah untuk membuat saya senang.

Percepat 6 tahun kemudian, masa SMP membebaskan saya dari takhayul. Bukan paman tua gendut, tetapi orangtua saya yang entah bagaimana caranya bisa membelikan hadiah secara diam-diam. Sayangnya, jumlah anak yang terus bertambah hingga mencapai 5 orang membuat kegiatan rahasia itu tak lagi nyata.

Kami bersaudara melewatkan ritual menulis permohonan di atas kartu dan meletakkannya di bawah pohon Natal, dan langsung saja menodong target pada orangtua yang cuma bisa meringis perih.

Singkat cerita, begitu menginjak dunia kerja, giliran saya ikutan meringis perih karena harus membelikan hadiah buat adik bungsu yang lulus sekolah saja belum. Tapi dia sudah tahu Sinterklas itu tidak ada, dan menodong langsung pada kakak dan orangtuanya.

Tentu saja menjadi pertanyaan bagi saya saat ritual Natal tahunan lain terjadi: polemik topi Sinterklas. Menurut sebagian orang yang mengatasnamakan organisasi keagamaan tertentu, pemakaian atribut Natal, terutama bagi karyawan beragama lain, adalah tindakan intoleran.

Entahlah, buat mereka itu seperti propaganda Kristenisasi yang sekarang lagi ramai dihidupkan kembali. Atau, dengan memakai topi berwarna merah berujung putih itu, iman para Muslim ini seolah dilecehkan.

Puncaknya adalah tahun ini, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pelarangan karyawan Muslim mengenakan atribut non-Muslim di pusat perbelanjaan atau toko. Fatwa tersebut menuliskan, menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram hukumnya bagi kaum muslim.

Otak saya langsung jetot pada kata “atribut keagamaan.” Lebih jetot lagi waktu melihat dan membaca anggota-anggota organisasi masyarakat berbasis keagamaan yang berkeliling dan memaksa mereka yang pakai topi Sinterklas untuk mencopotnya, terlepas apapun agamanya.



Intinya, kejadian tersebut diakhiri dengan salah seorang anggota FPI bertanya, Kowe kan wong Jowo, kok gak Islam?!” Akhirnya teman si perempuan ini pun tidak jadi marah malah mau tertawa, meski karyawannya tetap diminta mencopot topi santa.

Bukan simbol keagamaan

Sinterklas, atau Santa Klaus, bukanlah tokoh agama. Apalagi jika dibilang simbol keagamaan.

Malah menurut saya, dia lebih tepat disebut sebagai tokoh keikhlasan dan semangat berbagi. Meski tokoh yang menginspirasinya, Santo Nicholas dari Myra, memang seorang suci.

Semasa hidupnya sebagai Uskup Myra pada abad ke-4, ia mendedikasikan hidupnya kepada Tuhan dengan cara berbagi dan bersedekah. Setelah meninggal pun, ia didapuk sebagai santo pelindung anak-anak dan pelajar.

Bagaimanakah cerita Santo Nicholas ini bisa menjadi Sinterklas?

Menurut buku berjudul Santa Claus: A Biography karya Gerry Bowler, semua berawal dari tradisi di Eropa pada akhir abad ke-12. Setiap bulan Desember, kaum termarjinalkan—perempuan tua dan anak-anak miskin—akan berkeliling dari rumah ke rumah untuk meminta hadiah makanan ataupun uang.

Namun, sekelompok biarawati dari Perancis mengubah ritual tersebut. Ketimbang membuat para miskin berkeliling, mereka lah yang membawa hadiah berupa permen atau makanan, dan meletakkannya di dalam sepatu anak-anak setiap menjelang hari Santo Nicholas yang jatuh pada 6 Desember.

Ia dipilih sebagai ikon karena semangat berbaginya. Meski demikian, di Eropa juga ada banyak hari lain dengan tradisi serupa.

Bagaimanapun juga, sosok Santo Nicholas saat itu masih digambarkan seperti karakter di gereja. Kaku, tua, kurus, dengan pakaian dan topi uskupnya.

Sampai akhirnya, seorang Amerika bernama Clement Clark Moore membuat puisi berjudul “A Visit from St. Nicholas,” yang juga dikenal sebagai “The Night Before Christmas” pada tahun 1823.

Sebelumnya, terbit pula buku berjudul Children’s Friend pada tahun 1821, yang mengatakan Santo Nicholas muncul setiap malam Natal. Bukan pada tanggal 6 seperti tradisi sebelumnya. Ia digambarkan membawakan hadiah untuk anak-anak, seolah menjadi panduan bagi orang tua saat itu.

Namun, sosok fisik Sinterklas yang gempal, berjenggot putih dan memakai pakaian dan topi merah berbulu putih adalah dari ilustrasi Washington Irving, sebagai pendamping puisi Moore.

Berikut petikannya:

He was dressed all in fur, from his head to his foot,
And his clothes were all tarnished with ashes and soot;
A bundle of toys he had flung on his back,
And he looked like a peddler just opening his pack.
His eyes—how they twinkled! his dimples how merry!
His cheeks were like roses, his nose like a cherry!
His droll little mouth was drawn up like a bow,
And the beard of his chin was as white as the snow;
The stump of a pipe he held tight in his teeth,
And the smoke it encircled his head like a wreath;
He had a broad face and a little round belly,
That shook, when he laughed like a bowlful of jelly.
He was chubby and plump, a right jolly old elf. . . .

Karya ini kemudian menjadi figur definitif Santa, yang kemudian tak hanya di buku cerita melainkan muncul pula di papan iklan berbagai merek jelang Natal. Salah satu yang cukup mempopulerkannya adalah brand Coca-Cola.

Ketimbang semangat berbagi, Santa Klaus justru menjadi pendorong warga Amerika Serikat untuk berbelanja selama Natal. Tentu tak hanya makanan dan pesta, juga barang seperti mainan dengan dalih ‘membahagiakan anak-anak.’

Ngomong-ngomong, kalau belum tahu asal usul nama Santa Klaus, itu adalah serapan dari nama Jerman Santo Nicholas. Menurut lidah daerah tersebut, namanya adalah Sankt Klaus, yang kemudian diserap oleh lidah Amerika menjadi Santa Claus.

Memangnya Santa ngapain?

Kalau kalian rajin mengikuti kisah Natal, tentu saja tanpa perlu takut dituding murtad atau terkena kristenisasi, tak pernah ada satupun kisah Santa yang berbau religius. Sinterklas adalah suatu entitas yang jauh berbeda dengan Tuhan.

Ia tinggal di Kutub Utara, bukan surga. Ia adalah manusia yang memperbudak peri-peri. Ia naik kereta luncur yang ditarik rusa terbag; bukan awan kinton apalagi melayang-layang.

Bila bertemu santa di pusat perbelanjaan pun, apakah dia memimpin misa? Tidak. Dia hanya duduk santai, sambil sesekali tertawa atau membunyikan bel. Kalau ada anak-anak yang ingin berpose, dia menerima sambil tertawa. Bila penyelanggaranya bermodal, mungkin si santa ini bisa bagi-bagi hadiah.

Tentu mainan, bukan kitab suci.

Sebelah mananya yang keagamaan?

Bodohkah?

Tentu saja tidak bijak kalau langsung menuding orang yang mengharamkan atribut Santa karena dianggap sebagai bagian dari agama tertentu sebagai bodoh. Mereka pasti punya alasan, entah karena tidak tahu, tidak mau tahu, atau mau melanggengkan ketololan.

Saya sendiri juga menganggap bila ada pemilik perusahaan yang memaksa karyawannya mengenakan topi sinterklas, dan bila menolak langsung dipecat atau diberi sanksi, adalah salah. Tetapi mengharamkan?

Wow.

via GIPHY

Perihal iman, saya yakin setiap orang berbeda. Tetapi bagi saya, kalau kau menganggap kepercayaanmu langsung goyah hanya karena mengenakan atribut agama lain (yang ternyata juga bukan atribut keagamaan), mungkin bukan salah pemilik perusahaan ataupun penganut kepercayaan berbeda.

Memang imanmu saja yang lapuk, atau mungkin tidak ada.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!