Bukan anak kesayangan mama

Josefine Yaputri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tanpa sadar, darinya saya belajar hidup teratur dan tertata selama empat tahun tinggal di luar rumah. Saya belajar menyiapkan makanan, mencuci, dan menjaga kebersihan kamar karena Mama.

Ilustrasi oleh Magdalene.co

Saya tidak pernah rukun dengan ibu saya. Ia, yang biasa saya panggil Mama, seringkali bersitegang dengan saya. Saat masa sekolah, pertengkaran merupakan makanan sehari-hari kami. Jujur saja, tidak jarang saya iri dengan besarnya kasih sayang yang dilimpahkannya ke adik-adik saya. Semua anak Mama perempuan, tapi kenapa adik-adik saya lebih akrab dengannya? Kenapa mereka bisa dengan mudahnya membaringkan kepala di pangkuan Mama?

Saat saya masih duduk di bangku SMA, kami bertengkar hebat hingga tak mau bicara satu sama lain selama beberapa hari. Papa terpaksa turun tangan dan membujuk saya untuk rujuk dengan Mama. Hanya dengan inisiatif untuk memulai pembicaraan dan tanpa kata maaf, akhirnya hubungan saya dengan Mama kembali seperti sedia kala.

Sebagai anak sulung yang merasa kurang kasih sayang, saya girang bukan main ketika berhasil diterima di salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Itu artinya saya harus indekos dan bisa terbebas dari segala pertengkaran dengan Mama.

Ketika hari pindahan dari rumah ke tempat indekos tiba, Mama menjadi orang paling sibuk. Terbiasa menyiapkan semua hal dengan rapi, ia membantu saya memindahkan rak buku kecil dari rumah beserta buku-buku yang hendak saya baca di dalamnya. Tidak lupa juga dengan stok makanan agar saya tidak kelaparan. Setelah selesai berberes di tempat tinggal baru saya, Mama pun kembali ke rumah.

Malam pertama sebagai anak kosan saya lalui secara dramatis. Saya mendengar suara keras dari pelantang masjid yang tidak bisa membuat saya tidur nyenyak. Saya merasa seperti anak kecil yang baru pertama kali menginap di rumah temannya. Saya merasa asing. Saya rindu rumah.

”Baru kali itu saya mengetahuinya menangis. Dalam seumur hidup saya, tidak pernah sekalipun saya melihatnya menangis. Saya sedih sekaligus menyesal”

Keesokan paginya, saya kesulitan mencari menu sarapan karena saat itu bulan puasa. Mau tidak mau, saya belajar menyiapkan makanan sendiri dan bangun bersamaan dengan orang-orang yang sahur untuk membeli sarapan.  Saya rindu sarapan nasi goreng tomat di meja makan rumah yang bundar.

Rasa rindu akan rumah dan menu masakannya kemudian menyentil saya, Mama tentu juga menyayangi saya. Saya lalu mengingatkan diri, saya juga anak kesayangan Mama. Setelahnya, hari-hari saya sebagai anak kosan sering saya habiskan untuk mengobrol dengan Mama melalui pesan pendek dan sesekali telepon, sekadar menanyakan kabar atau saling berbagi keluhan. Hubungan saya dengan Mama pun menjadi lebih dekat.

Baru belakangan saya ketahui dari adik-adik saya, malam pertama saya pindah dari rumah dihabiskan Mama dengan menangis. Sepertinya ia tidak tega membiarkan saya tinggal sendiri di sebuah kamar indekos yang sempit tanpa pendingin ruangan dan jauh dari rumah. Baru kali itu saya mengetahuinya menangis. Dalam seumur hidup saya, tidak pernah sekalipun saya melihatnya menangis. Saya sedih sekaligus menyesal. Selama ini saya selalu merasa diabaikan. Saya salah.

Tanpa sadar, darinya saya belajar hidup teratur dan tertata selama empat tahun tinggal di luar rumah. Saya belajar menyiapkan makanan, mencuci, dan menjaga kebersihan kamar lewat banyak pesan singkat yang dikirimkannya. Saya belajar untuk menjadi putri Mama yang lebih mandiri.

Kini, di Sorong, Papua Barat, saya kembali rindu rumah, rindu Mama. Selagi masih ada sinyal, saya usahakan menghubunginya untuk bertukar kabar atau sekadar pamer foto papeda yang saya makan dan cerahnya langit yang menaungi rindu saya kepadanya.

Ternyata, saya juga anak kesayangan Mama. Hanya saja, berbeda dengan adik-adik saya yang biasa tertidur di pangkuannya, kami berbagi kasih melalui percakapan ringan yang tak kenal bosan. Begitulah. —Rappler.com

Josefine Yaputri menikmati senja, mencintai secangkir teh hangat, menyukai bunga matahari, dan memainkan sebuah biola mungil. Follow Twitter-nya @sefiin.

Artikel ini sebelumnya diterbitkan oleh Midjournal.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!