Sonya Vanessa, transgender yang tak takut mati

Kartika Ikawati

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Terlahir sebagai laki-laki bernama Anton, ia kemudian memutuskan 'bermetamorfosa' menjadi Sonya Vanessa. Kini ia memiliki suami dan anak, hidup bahagia.

TRANSGENDER. Namanya Anton, namun sejak menjadi transgender ia mengganti namanya menjadi Sonya Vanessa, warga Surabaya. Foto oleh Kartika Ikawati/Rappler

Seminggu lalu rakyat India membuat sejarah baru. Seorang transgender bernama Madhu Bai Kinnar memenangkan pemilihan umum kota Raigarh India pada Minggu (4/1). Dia menjadi walikota transgender pertama di India.

Terpilihnya Kinnar tidak lepas dari keputusan Mahkamah Agung India yang memperbolehkan kaum transgender berpartisipasi dalam dunia politik. Jika transgender di Raigarh bisa berkiprah di pemerintahan, bagaimana dengan transgender di Surabaya?

“Waria di Surabaya itu pilihan kerjanya cuma tiga, salon, ngamen dan mejeng,” ucap Sonya Vanessa, Ketua Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos).

Transgender atau yang biasa dikenal dengan sebutan waria, memang kebanyakan berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Kondisi keuangan dan ketrampilan yang terbatas, membuat transgender tak punya pilihan pekerjaan lain.

Bahkan menurut data Perwakos, 80% transgender di Surabaya bekerja sebagai pekerja seks. Tak jarang transgender yang menjual diri, atau istilah Sonya mejeng, terjaring razia.

“Kalau terkena razia biasanya dibawa ke Liponsos, bisa nginap 5 hari di sana. Tapi sayangnya mereka ditempatkan bareng laki-laki. Bisa habis dikerjai laki-laki mereka. Harusnya waria ditempatkan bareng perempuan. Mereka tidak tahu karakteristik waria,” ujar Sonya.

Tak hanya masalah penempatan, penjemputan di Liponsos (Lingkungan Pondok Sosial) terkadang juga bermasalah. Menurut aturan Liponsos pemulangan seluruh penghuninya, harus pihak keluarga yang menjemputnya.

“Waria itu tidak takut mati. Tidak peduli berapa kali suntik di payudara atau di bokong yang penting tampil cantik.”

Namun aturan ini tidak berlaku bagi transgender. Sonya berujar keluarga transgender yang terkena razia tidak mau menjemput mereka, pihak Perwakos pun harus turun tangan. “Biasanya saya buat surat untuk Liponsos, nanti ada teman Perwakos yang menjemput,” tambah Sonya.

Masalah razia transgender ini memang masalah klasik di Surabaya. Kini para transgender yang hendak mejeng mengakalinya dengan beberapa trik.

Jika dulu lokasi mejeng berpusat di daerah Irian Barat Surabaya, sekarang lokasinya menyebar ke beberapa daerah mulai dari kawasan Kembang Kuning, Bundaran Waru, hingga Panglima Sudirman. Jam mejeng juga disesuaikan, tengah malam di atas jam 12 menjadi pilihan favorit untuk mejeng.

Untuk kepentingan mejeng, seorang transgender harus mengeluarkan biaya yang tak sedikit. Mulai dari biaya make up, pakaian, hingga suntik hormon. “Waria itu tidak takut mati. Tidak peduli berapa kali suntik di payudara atau di bokong yang penting tampil cantik,” kata Sonya.

Mengenal Sonya Vanessa Lewat Perwakos

Sonya Vanessa (53) terlahir sebagai seorang laki-laki bernama Anton. Sejak kecil ia memilih bermain bersama temannya yang perempuan. Saat beranjak remaja ia mulai salah tingkah ketika laki-laki mendekatinya. “Dari kecil memang teman main saya perempuan. Waktu SMP ada guru laki-laki yang ganteng saya deg-degan,” kisah Sonya sembari tertawa.

Setelah lulus SMA, Sonya mulai mencari jati dirinya. Dia mencari komunitas yang memahaminya. Perwakos yang baru saja berdiri di tahun 1978, menjadi pilihan Sonya waktu itu. Tentangan dari keluarga tidak mengurungkan niatnya.

Hingga Sonya memutuskan berhenti dari kuliah dan menjadi transgender sepenuhnya. “Buat apa saya kuliah toh nantinya saya tidak bisa kerja seperti orang lain, saya enggak bisa jadi pejabat,” tutur Sonya.

Di Perwakos, Sonya menemukan dunianya. Sudah 37 tahun Sonya bergabung dengan LSM yang mewadahi transgender di Surabaya ini. Sejak tahun 1987 Sonya menjadi wakil ketua Perwakos, dan di tahun 2012 hingga sekarang, Sonya yang sering dipanggil Mak Sonya ini menjabat sebagai ketuanya.

Perwakos didirikan berawal dari keprihatinan atas nasib transgender di Surabaya. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki pekerjaan tetap, taraf hidupnya juga berada di bawah garis kemiskinan. Tujuan awal Perwakos hanya untuk melindungi anggotanya yang terkena razia.

Pada perkembangannya kegiatan Perwakos tidak hanya sekedar melakukan pengayoman pada transgender yang terkena razia namun juga pemberdayaan bagi mereka supaya tidak terlantar di jalanan dan menjadi duta kesenian yang biasa menghibur warga Surabaya.

Tiap 3 bulan sekali Perwakos mengadakan program edutainment, sebuah pelatihan entertainment untuk anggotanya mulai dari menyanyi, menari hingga kelas akting. LSM yang berkantor di Jalan Banyu Urip Kidul Gang IA No.7 Surabaya ini juga menyediakan pelatihan wirausaha, seperti tata rias, rambut dan juga handicraft.

Tidak hanya pelatihan wirausaha dan entertainment, Perwakos juga menyediakan kegiatan rohani untuk anggotanya. Anggotanya yang muslim membuat kelompok pengajian Al Ikhlas, pengajian ini digelar satu bulan sekali setiap Jumat Legi.

Untuk anggotanya yang beragama Kristen ada juga persekutuan doa. “Walau jadi transgender kita tetap mahluk Tuhan yang beragama,” tegas Sonya.

Sebagai organisasi transgender terbesar dan tertua di Indonesia, saat ini anggota Perwakos mencapai 950 orang. Menurut Sonya sekitar tahun 2003, anggotanya pernah mencapai 2000 orang. Pertahun lebih dari 10 anggota Perwakos meninggal karena HIV/AIDS. “Dulu kita tidak tahu HIV itu apa, ada yang mengira banyak waria meninggal itu karena disantet,” ungkapnya.

Permasalahan HIV/AIDS memang menjadi mimpi buruk bagi transgender. Data Perwakos menyebutkan, dari tahun 2005-2010 angka kematian transgender akibat HIV/AIDS paling tinggi. Kini Perwakos mulai fokus pada pencegahan HIV/AIDS. Sonya tak lelah mengingatkan anggotanya untuk mengenakan kondom saat berhubungan intim dengan pelanggan.

“Cara bertahan hidup waria ya memang menjajakan seks di pinggir jalan. Mereka ini tidak diterima di dunia kerja, keluarga juga menolak. Walau kerjanya seperti itu, kita ingin waria terhindar dari HIV/AIDS,” ujar Sonya.

Bahagia dengan Berkeluarga

Selain disibukkan dengan kegiatannya di Perwakos. Sehari-hari Sonya mengurus usaha kostnya yang dihuni 22 transgender. Bersama dengan suaminya ia mengurus usahanya itu. Sudah 6 tahun, Sonya menjalin hubungan dengan suami keduanya itu.

Untuk melengkapi kebahagiaanya, ia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak. “Namanya Rizki usianya sekarang 4 tahun, itu adopsi dari saudara suami, dia panggil saya Mama,” kata Sonya bangga.

Menjadi seorang ibu memang keinginan Sonya sejak lama. Namun keinginan itu tertunda ketika melihat seorang transgender yang memiliki anak, ia tak tega ketika si anak dihina karena memiliki ibu transgender. Sonya khawatir saat anaknya besar nanti, ia juga akan mengalami nasib serupa.

Saat ini Sonya mulai memberikan pengertian kepada anaknya, bahwa tidak ada yang salah dengan transgender. Menurut Sonya stigma negatif transgender banyak muncul dari media.

“Media itu sering menggambarkan waria itu ya seperti Tessy atau Olga. Padahal waria itu ya biasa aja, bisa punya keluarga, punya suami dan anak. Saya ingin media juga menampilkan kehidupan kita sehari-hari, supaya kita tidak didiskriminasikan lagi” harap Sonya. –Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!